Saturday, December 29, 2012

Perhaps, It's The End

Selamat pagi.
Senang rasanya bisa menyapa kembali. Kamu. Kalian. Yah, atau siapapun yang telah berkunjung. Terima kasih.

Di usia baru; bertambah satu nilai, lebih satu minggu--tolong jangan paksa aku menghitung usiaku dalam hari, apa kabar, kamu? Semoga baik dan Tuhan selalu menaungimu. Sepertinya hari ini akan terik, semoga suasana hatimu tak berbalik mendung, melainkan cerah seperti ramalanku hari ini.

Masih pagi, tak enak bila berbicara masalah hati. Tunggu.... masalah perasaan, tepatnya.
Ah, iya, satu yang membawaku kembali pada halaman ini: hampir berakhirnya Desember. Desember berakhir, berarti tahun ini mengikuti, bukan?

Desember.
Boleh aku bertanya apa arti Desember bagimu?
Dulu aku menantikannya; waited it like crazy, completely. Tahun ini berbeda. Euforia dari awal juga berbeda. Aku sangat ingat aku terjaga di pergantian bulan, November ke Desember, biasa saja. Maaf, aku lupa, tidak biasa, ternyata. Biasa menghabiskan waktu transisi dengan tidur, bukannya belajar atau berbincang dengan yang lain. Dan ini sungguh berbeda, orang yang berbeda.
Dan mungkin jika aku membuat meski hanya selembar kaleidoskop tahun ini, bulan ini lah yang memakan banyak waktuku; hanya rebah, melayangkan pikiran, (mencoba) belajar sabar dibarengi menguatkan hati, sampai menguras mata air mataku. Ah, sudahlah.

Aku lahir di bulan yang sama dengan ditulisnya sampah ini. Ya, Desember.
Di usia ini aku lebih banyak berpikir; lahir di Hari Ibu, yang dengan resmi menjadikannya milik ibuku juga, akankah pula resmi menjadikan hidup beliau lebih -istilahnya- berwarna, bermanfaat.
Ah, akankah lelah ibuku bisa pula diletakkan--atau paling tidak disandarkan--di bahu anak-di-bawah-umur-nya ini?
Apa iya, putri sulungnya bisa menjadi ladang amalnya-pahalanya, menawar sakitnya, tak luput sebagai pelipur laranya?

Cukup.

Desember nyaris berakhir, dalam puluhan jam. Satuan hitungnya... jam. Tak lama lagi.
Kesan buruk membungkus kencang bulan ini. Bukankah kita seharusnya bersyukur? Apapun, maksudku, apapun keadaannya. Bagaimana pun rasanya. Di samping kegelisahan dan ketidaknyamanan hati, Tuhan Maha Adil. Dia menyiapkan tangan-Nya untuk menolong.
Terima kasih. Terima kasih untukmu, yang tak bisa aku sebut; karena kata tak cukup memenuhi, tak cukup memuaskan arti.

Thursday, December 13, 2012

Ada yang Tenggelam


Ada yang mengapung di dalam matamu sesuatu seperti luka. tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatku sadar bahwa rindu kita telah tercemar. 
Mungkin kau menyimpan semuanya rapat-rapat hanya untuk menunggu waktu yang benar mengirimiku kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'. 
Ada yang mengambang di sudut bibirmu sesuatu seperti luka. tapi gelombangnya terlalu tenang untuk membangunkanku dan dingin napasmu ternyata enggan menyelamatkan sepi yang kau tanam di seluruh mimpi. 
Mungkin waktu terlalu naif dan jarak selalu lupa merekam rasa sesak yang kita nikmati berdua.
Ada yang tenggelam di dasar kenangan; sesuatu seperti kau.

Thursday, December 6, 2012

#9

Smart girls are incredible; they know exactly how to behave or what to say in every situation. They don’t say things they don’t mean, everything they say comes from their heart and it’s honest. A good girl knows how to love, but a smart girl knows who to love. She knows who to spend her time with and it’s only people who appreciate her and love her as much as she appreciates and loves them. A smart girl is always happy, yeah, even in sad moments she knows how to find happiness. That is power. A smart girl doesn’t wait for someone else to make her happy, cause she knows that THAT is the best way to be sad. And even if a smart girl has a broken heart, she fixes it. Why? Cause she knows her worth. She knows herself and she’s very thoughtful. That’s why she thinks about every single thing. To me, that’s a beautiful thing, because it shows that she’s using her brain. A smart girl teaches you things without knowing by just sharing her thoughts. That is amazing. If you’ve found a smart girl, don’t ever let her go. Because you will regret it and realize that there’s no better quality than smart. If you leave a smart girl, she will leave you a smart lesson.

Sunday, December 2, 2012

12/02/2012

Ah, hujan yang mengganggu. Fokusku lebur bersama besi yang berkarat, atau malah lebur bersama karat besi. Entahlah.

Oh iya, malam ini aku tenggelam dalam sejarah. Sejarah cinta kita, ups, bukan, melainkan sejarah negeri tempat aku--dan mungkin kau tinggal. Kelam, sejauh rasa ingin tahu ini mencari. Konflik di sana, konflik di sini; genosida tak luput dari cerita lampau saat usiaku masih sekitar 1,5 tahun.
Miris, bukan?

Bachruddin Jusuf Habibie, namanya. Salah satu tokoh penting yang sering disebut-sebut pamongku. Si jenius yang sempat memimpin negeri ini di sekitaran tahun 'penuh konflik' tersebut. Stigma negatif sebagian masyarakat telah melekat padanya. Sungguh. Namun bukan bijak namanya jika hanya melihat dan membahas sisi gelapnya terus menerus.
Beberapa waktu yang lalu, Ibu Ainun, istrinya, meninggal dunia. Kecintaan Habibie pada Ainun ini dibuktikan dengan membuat puisi selepas kepergiannya.

Berikut puisi Habibie untuk Ainun:

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu. 
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,
hatiku seperti tak di tempatnya,
dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi. 
Kau tahu, sayang,
rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir,
pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak mengeluh,
tapi rasanya terlalu sebentar kau di sini. 
Mereka mengira akulah kekasih yang baik bagimu, sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia,
kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini. 
Selamat jalan,
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
selamat jalan, sayang,
cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
selamat jalan,
calon bidadari surgaku ….

Gandul, 09 Januari 2012

Monday, November 19, 2012

Ini Bukan Hujan Pertama


Ini bukan hujan pertama

iya, bukan milikku

Ini bukan hujan pertama

aku tak ubahnya paku

tertancap dalam; pikirku

karam, meraung diam

Ini bukan hujan pertama

bukan pula simfoni yang pernah

menemani

Sendiri

masih mencari

Ini sama sekali bukan hujan pertama

aku kauacuhkan; aku kausalahkan

Saturday, November 17, 2012

Bibirmu Berkarat di Bibirku

: Hasan Aspahani


aku melihat bibirmu itu sekarang, menjadi kering,

menjadi kasar berbatu seperti karang, seperti

berontak dari cangkang, dari rumahmu yang

berlipat sajadah, berlantai pasir, kau bukan

lagi kulihat sebagai musafir, kau buronan,

tahanan penjara Tuhan, kau tak lagi

kulihat sabar menunggu dzikir-dzikir,

kau lekas sekali bersujud, mencengkeram tanah,

mencari suara siapa tertawa di dermaga,

bendera negeri mana dilambai di atas palka,

siapa terdiam berdiri di tepi samudera

menyaksikan bangkai manusia dibuang,

diceburkan tanpa airmata, kau menghentak

kaki berlari ke pasang gelombang,

tak lagi bertanya kenapa, aku melihatmu

dari jauh, dari pesisir, kau mengambang

di tengah, memungut buih, memagut air laut,

tak lagi bertanya kenapa, aku mendengar

dari jauh, kau merintih

bibirmu berkarat di bibirku

bibirmu berkarat di bibirku!

Senja dan Dermaga


Saat luka tak lagi mengenal waktu dan penantian terasa abadi, sementara merah bukan lagi darah tapi sepi yang enggan pergi, mungkin di sebuah dermaga kau akan menyaksikan satu-dua kapal antah berantah mengangkut pulang kenangan entah milik siapa, milik aku yang telah lama tenggelam di dasar diammu, atau milikmu yang telah terbang bersama serak suaraku.


Mengucapkan perpisahan yang kita tau sama-sama berat
mengucapkannya lirih dalam satu pelukan
yang tak bisa lebih erat


Begini senjaku
mungkin di dermaga itu kau tak akan bertemu aku, hanya menghitung detik demi detik dengan lancang berkejaran dan mengharapkannya mati atau beku; tapi ada beberapa pertemuan yang tak boleh terjadi karena luka setelahnya akan membuat sepi di bibir kita saling mengucap benci.


Biarlah hening yang kau dan aku simpan berlayar dalam kapal yang berbeda
biarlah cahaya yang jingga menyala di matamu pergi,
itu bukan senja kita

Angsa-Angsa Ketapang

: Bernard Batubara


Angsa-angsa Ketapang


aku tak bisa membayangkan diriku, adik perempuanku, dan adik lelakiku sebagai tiga ekor angsa yang hidup di rumah kami, karena kami tak membagi dada kami untuk dijadikan sebaskom kecil nasi sisa dan kami lahap bersama, kami tak berjalan subuh hari menembus pagar rumah yang rusak, mencari sekawanan embun berkilau yang beterbangan setiap sehelai daun ketapang jatuh dari rantingnya, kami tak pernah melompat menceburkan diri ke kolam ikan dan berseru kegirangan, mengibas-ngibaskan sayap di dalam air berwarna kuning, berharap sekawanan ikan kecil berenang mendekat, kami bukan tiga ekor angsa yang tahu kapan harus pulang kembali ke kandang, kandang kecil tempat seharusnya kami tidur bersama, dan aku tak bisa membayangkan diriku sebagai angsa tertua yang melebarkan sayapnya, memeluk dua ekor angsa lain, meski seluruh daun di pohon ketapang yang lahir di rumah kami berguguran dan tak akan pernah tumbuh lagi.


tapi angsa paling bungsu sudah terlanjur tidur pulas sekali, ia tersenyum, sayapku tak ada di sana.

Thursday, November 1, 2012

#8

"Saling mendoakan adalah bukti bahwa aku dan kamu belum mampu saling melepaskan."


- Posted using BlogPress from my iPad

Should I just... smile?

Banyak kata yang membentur saraf kreativitasku malam ini. Tunggu, bukan hanya malam ini, namun setiap malam. Seperti ada stimulus langsung ke sana untuk merangkai jutaan kata tersebut; meski tak indah, meski tak apik.

Selalu gagal, selalu saja.
Satu dari ribuan bahkan jutaan kata yang berputar-putar selalu berhasil tertuang, selalu berhasil terangkai, dan yang kemudian selalu berhasil dihapus. Ya, selalu.
Entah memang karena pilihan kata yang kurang cocok, atau pemakaian majas yang tidak pas; entah. Yang kutahu, tiap kali aku menangkap, menjerat kata-kata yang berkeliaran, dan mencoba menatanya di halaman ini, selalu saja ada sesuatu yang mengekor, membuat ideku, jemariku, terganjal.

Boleh aku meminta waktumu sebentar?
Mungkin ini yang lebih aku butuhkan dibanding bersanding dengan halaman kosong dan mencoba memindahkan, membuang--atau kata apapun yang pas kau gunakan--kekalutan ini. Kekalutan yang berhasil kauciptakan.
Perhaps, that's your most beautiful masterpiece.

Boleh aku lihat jernih bola matamu sejenak?
Aku lelah menerka; demikian pula membayangkan apa yang ada di sana. Mencari apa yang aku harap dapat aku temukan dalam kejernihan itu. Kejernihan yang tampak akankah pula menorehkan siluet rindu? Rindu, satuan rasa yang tak beralaskan. Rindu yang berhasil kau 'ganggu', kini terbangun dan meraung mencarimu.
Atau mungkin... jernih tanpa adanya seberkas 'aku'?

Boleh aku memintamu mendengarkan?
Jika kau keberatan, cukup untuk hanya mendengarkan tanpa berbalas sepatah kata; kau tak perlu berucap. No feedback will be okay.

Haha. Konyol. Tidak, aku benar membutuhkan jawabanmu. Feedback, sangat aku harap. Mungkin kau akan menemukanku berkata begitu, dengan senyum merekah di wajahku; namun kau tak tahu pertempuran yang ada di hatiku, bukan?
Smiling but dying, or dying but smiling. What the hell is that? Nevermind.

Smile is like a band-aids; it covers up the wound but it still hurt.
And smile though your heart is aching. Smile even though it's breaking; when there are clouds in the sky you'll get by.
If you smile through your pain and sorrow; smile and maybe tomorrow you'll see the sun come shining through for you.

Ya, cukup. Senyum.
...mungkin hanya itu yang sanggup dilakukan.


- Posted using BlogPress from my iPad

Monday, October 1, 2012

I Like but I Don't Fancy

It's been a long time since I don't write. Meski sebenarnya pagi buta ini aku menulis, menyelesaikan 'karya ilmiah'--atau apalah.

How I miss writing; the only activity that can change my mood as easy as snapping my fingers. Intinya, aku benar rindu menulis.
Here I am. Kembali menulis. Aku kembali dengan pasti, meski membawa luka hati.

Mungkin kau bisa abaikan saja kalimat terakhir.

--------------------------------

Panas hawa siang ini, meski awan pagi yang menyelimuti memberi harapan hujan akan turun. Mendung, namun tak semendung hatiku. Ragaku memang rapuh, ringkih, laksana kulit telur ayam yang kubeli kemarin sore. Sesakit apapun kau bernapas, kau tak akan berhenti bernapas hingga waktunya tiba, bukan? Seperti halnya aku, serapuh, seringkih, dan sesakit apapun, aku memang tak boleh berhenti. Mungkin saja itu yang telah tertulis; yang telah tergaris.

Panas. Jok kendaraan yang aku tumpangi ini panas, karena aku memarkirkannya di tempat yang memang tak beratap, kendaraanku ini tak bisa bernaung. Ya, panas.
Panas, kata yang sibuk menubruk pikir kalutku siang ini.

Kau lihat--jalanan--aspal ini? Kering, dan panas. Butuh diguyur; maksudku, diapakan saja terserah, yang penting permukaannya terbasuh dan menjadi dingin.
Apa kau ingin mengandaikan kalbumu sebagai aspal yang dibiarkan terjemur di bawah matahari yang terik ini? Sama sepertiku, mungkin.
Sungguh yang pertama aku pikirkan saat melihat jalanan, lengkap dengan aspal yang panas serta debu yang menyesak ini, adalah mereka, manusia dengan jiwa-jiwa yang butuh ketenangan. Yang merasa tercampakkan di tempat yang sungguh tak mereka inginkan. Doa yang pasti dan tak pernah terlupa mereka untai mungkin hanya satu, hingga Tuhannya hafal; "God, please bring me to the place where I belong to."

Aku yakin, mereka hanya belum mengerti, belum sanggup memahami.
Mereka labil. Mereka senang duduk di sana sendiri, menikmati segalanya sendiri, karena yakin mereka mampu. Aku percaya. Namun segalanya berubah; benteng rapuh yang mereka bangun, runtuh. Seseorang yang lain di ujung sana terlihat bahagia, terlihat sempurna berkat hal yang sanggup membuatnya merasa sempurna, berjalan bergandeng tangan--dengan pasangannya. Kau tahu? Mereka iri.

Mereka menginginkannya juga; menginginkan bertukar posisi dengan sesorang--dengan 'penampilan' sempurna--yang baru saja mereka lihat.
Kenyataannya? Mereka sempat merasa--sok--tegar nan tak teruntuhkan by standing themselves ....all alone. Tapi, apa? Sekarang hancur, melebur.

I know that even though they like being alone, they don’t fancy being lonely.

Wednesday, September 12, 2012

Kamu, Mungkin?

Ada keyakinan saat aku menulis kalimat ini; keyakinan bahwa kau tak akan membacanya.

Terima kasih.
Banyak syukur yang harus kupanjatkan pada Tuhan. Syukur karena Ia telah mencipatakanmu, yang tak pernah menunjukkan kemarahan dan kekecewaanmu terhadapku. 95% aku yakin, ya, aku paham betul kau pasti kecewa. Marah, apalagi. Kemana 5%-nya? Tadinya sempat 100% dan hilang sebagiannya. Ya, Si Lima-Persen lebur bersama perasaan khawatirku saat aku nyaman bersamamu.

Maaf. Satu kata itu. Maaf, satu bahkan beribu kata maaf yang berhak dan wajib kuberikan untukmu. Bukan hanya 'terima kasih' hutangku, maaf pun mengekor.
Maaf untuk selalu merepotkanmu. Maaf karena selalu menyakitimu meski dalam diamku. Maaf untuk melepas; perlahan namun pasti telah kulakukan. Dan maaf, karena keterbatasanku, segala kesalahanku; maaf, aku tak pernah berada di sana lagi, di sisi yang mungkin pernah kau inginkan aku untuk mengisinya.
Maaf.

Siang ini, kau jahat. Kejam sekali.
Kau kejam karena kau membuatku menambah hutangku padamu, membuat sisi jiwa yang tadinya kupikir mati, kembali; kau hidupkan lagi. Jiwa ini mati suri. Kalbu yang mengering, kau siram dengan air yang kesegarannya tiada ada tandingan.
Jahat, kejam, dan tak berperikemanusiaan sama sekali, kau berhasil membuatku sadar, aku masih membutuhkanmu...

Maaf.



- Posted using BlogPress from my iPad

Wednesday, September 5, 2012

#7

"Did you know that everything she ever does is for you?"


- Posted using BlogPress from my iPad

The Things Inside

I don't know what I should write di kolom 'Title'. Karena tulisan kali ini sungguh sangat mendadak. Maksudku, ya, begitulah; keinginan menulis begitu besar, dan aku tak bisa melawannya meski tanpa koneksi internet. Untunglah gadget super ini benar-benar memanjakanku. Ngomong-ngomong, tak sepenuhnya salah aku hidup dalam buaian teknologi.

Aku tak kembali datang ke blog ini untuk sesuatu yang menggembirakan, sesuatu yang sangat ingin kukenang, namun angan yang menyesak.
Kau tahu? Aku sendiri. Tanpa teman, sama sekali. Sampai di rumah belum genap pukul setengah satu siang, mana ada orang? Hmmm....maksudku, di kediamanku. Sesekali memandangi telepon genggam yang biasanya 'heboh'. Kini? Mungkin ia sudah belajar bagaimana bersikap manis di hadapan manusia. Diam, seperti seorang anak yang diajak membesuk teman orangtuanya yang sedang sakit. Duduk manis, kalau para orangtua sering menyebutnya.

Coba bayangkan anak itu; hanya memperhatikan sekeliling ruang. Sudut satu, ke sudut yang lain. Mendengar orang lain berbicara. Berbicara hanya saat yang lain menegurnya. Mungkin itu seperti .....aku?

Sakit. Saat kau merasakan rindu dan sepi, kemudian kau disalahkan karenanya. Begini, disalahkan karena kau sendiri yang membuatnya, kau yang menyebabkannya. Siapa yang mau? Sakit, kau tahu. Sakit, karena sesungguhnya kau tak ingin kedua hal itu hadir bebarengan di setiap sendirimu. Sungguh, kau tak menginginkannya; inilah yang membuatmu semakin tersakiti. Menginginkannya pun tak mau, apalagi 'menimbulkannya', bukan?
Lelah aku dalam belenggu sepi. Sendiri.

Nobody wants to be alone that much.
Kamu juga, kan? Ada keyakinan saat aku mengatakannya.
Aku duduk di deret paling belakang, tadi. Ya, saat sekolah. Namun aku tak sendiri, ada empat orang anak di saf itu. Guru Bahasa Inggrisku datang, menghampiri sekaligus membuyarkan lamunanku.
"Kenapa, Rona?" sial, guru ini telah benar-benar mengenalku meski parasku ta terlihat. Menggeleng dan semakin sesak. Yah, nasib. Memaksa, memaksa, memaksa, kepo! Dan aku terpaksa berbohong. "Mengantuk," jawabku.

"Not in the mood?" sial--untuk kedua kalinya, guru ini seperti sudah mengenalku belasan tahun. "Mungkin, Miss..." timpalku ragu.

Hah. Untung beliau bertanya, karena apa yang tidak kuharapkan--bahkan tepikir pun tidak--beliau lakukan terhadapku, beliau lakukan.
Perhatiannya hanya tertuju padaku, itu kesan saat aku memandang dan berbicara padanya. Benar, ia mengajakku berbicara. Rupanya tak masalah aku tak memperhatikan rekan-rekanku mempresentasikan hasil diskusi mereka, karena pamongku juga melakukan hal yang sama. Terima kasih, Miss, setidaknya laraku terusir meski sejenak.

Apa maksudmu kembali datang dalam benakku?
Maaf, pertanyaan barusan untuk seseorang. Setelah aku selesai mengingat-ingat kejadian lalu, 'dia' datang lagi. Someone who has messed me up. Ha!

Sudahlah, lelah aku mencoba memikirkan bagaimana aku harus menuliskannya; aku, ia, dan perasaanku. Lelah mencoba. Bagaimana aku harus mengungkapkannya, itu maksudku.

Coba saja hati punya organizer yang nyata; memungkinkan untuk mengatur kapan harus dibuka, kapan harus ditutup, kapan harus mempertahankan, kapan harus melepaskan. Melepas apa yang sudah meninggalkan, pergi, semacam mengikhlaskan. Tapi, ah, entahlah. Melepaskan....

Aku hanya belum siap....


- Posted using BlogPress from my iPad

Sunday, September 2, 2012

Another December 22nd: #1

22 Desember 2009
Hari Selasa.

Hari bebas! Tidak ada ujian yang harus ditempuh, tidak ada remidi yang harus dijalani, pelajaran pun. Hari di mana semua orang sibuk; ada yang bersiap untuk menghadapi guru super 'mematikan', bermaksud meminta ujian susulan, ada pula yang berbicara sendiri di pojok kelas, itu kesan pertama yang aku tangkap, ternyata ....berbicara dengan suatu benda--yang aku lupa apa. Tetap saja, aneh -_-

Just to be honest, aku kurang memperhatikan apa yang terjadi pagi itu, membuatku harus lebih keras untuk mengingat. Aku duduk di bangku panjang, depan ruang kelas VIII-9. Sesak saat aku mencoba mengingatnya. Dua tahun aku berada di ruang itu, karena di jenjang sebelumnya kami juga menjalani hari-hari di ruang yang sama. Sekali lagi, aku rindu. Rindu dengan suasananya, rindu setiap detail ruangan--dinding hijau, papan tulis yang dulu pernah aku jadikan media penyalur kreativitasku, aku menggambar wajah ketua kelas di sana layaknya seekor penguin. Aku menyesal, sungguh. Teralis di ambang pintu kelas yang dulu menopang badanku dan teman jahil lainnya, meja komputer di 'belakang kelas' yang di salah gunakan, stop-contact bertebaran, dan ....ah sial, semuanya kurindukan. Suasana kelas yang tak pernah berubah, karena penghuninya pun tetap sama, that's what makes me dying, just want to be there again in time.

Hmm. Ya, aku duduk di bangku depan ruang yang sangat berkesan bagiku. Semua orang bersikap biasa saja, tidak ada yang mencurigakan seperti tahun lalu, tidak ada wajah-wajah drama yang diperlihatkan, dan tentunya drama 'Mendiamkan Rona' sudah tidak muncul.

Satu rahasia, aku sedikit lega, karena kaus yang sebelumnya aku persiapkan ternyata tidak terbawa. Aku membawa kaus lengan pendek. Sial.
Mengapa aku membawa kaus? Aku takut dikerjai, paranoid.
Takut dilempari telur, tepung, air; memang aku ini apa? Ayam yang siap diubah menjadi ayam goreng krispi?

Seorang teman yang parasnya seperti baru saja bangkit dari tidurnya melangkah keluar kelas, mengajakku pergi ke kantin. Aku juga rindu kantin, pempeknya, sate jamurnya. Menurutku...semuanya! Ya, kami pergi ke kantin, dan di tengah perjalanan, bum! Seketika dingin menjalar dari ujung kepalaku ke setengah badan ini. Kejam. Hal yang aku takuti menghampiriku tiba-tiba dari belakang. Kalau aku boleh menebak sebelumnya, aku akan menyebutkan satu dari tiga nama yang sangat familiar; Lawren, Gista, atau Bintang. Mereka teman dekatku. Atau Kiki, "The King of Tricks". Bukan, salah semua. Moe, bukan teman sekelasku, mengguyurku dari belakang.

"Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday ....happy birthday to you!"

Dan hampir semua anggota kelasku datang, entah membawa botol minum, bahkan gayung penuh berisi air. Aku masih sempat berpikir, bagaimana anak-anak lain yang sedang membutuhkan kamar mandi lengkap dengan gayungnya nanti? Bagaimana nasibnya?
Superrrrrr.

Ya sudah. Lengkap. Selesai. Aku basah kuyup, dan sepatu ayahku yang terikat kencang di kakiku ikut basah. Aku berpikiran untuk tidak mengganti pakaianku, tapi buat apa kausku yang telah bersikap manis di tasku? Lebih baik kupakai. Untung saja aku membawa jaket, lenganku masih dapat ditutupi.

MAKAN MAKAN!!!!

Bukannya memberi kado, malah minta ditraktir. Teman macam apa?
Teman macam....aku tahu macam apa. Macam yang tak dapat diungkapkan dengan kata. Macam yang tak bisa diutarakan pada orang lain bagaimana mereka. Macam yang tak mungkin didapatkan jika aku tak berada di sana. Macam yang aku rindukan, amat mendalam, sejak pertama kali kami berpisah. Masya Allah, mereka.... Sekali lagi  membuatku mengucap syukur, Alhamdulillah..


-----------------------------


Aku dijemput oleh ibuku. Seorang wanita hebat yang aku kenal sejak aku dilahirkan olehnya. Sosok kuat yang dilengkapi ayah. Spesial, menurutku. Aku dijemput oleh dua makhluk Allah terpenting dalam hidupku.
Menyenangkan, karena aku tak langsung diantar pulang. Beliau-beliau mengajakku ke suatu tempat. Intinya, dimanapun, asal mereka ada, itulah tempat terindah. Yaa Rabb, izinkan kami masuk ke jannah-Mu lengkap seperti ini. Amin..

Di sepanjang perjalanan, aku mencoba menyibukkan diri, ayah-ibu sedang sibuk berbincang. Satu bendel dokumen dengan kover apik, dilengkapi lambang Universitas Gadjah Mada dan nama lengkap ibuku.
"Oh, ibu tesis ibu sudah selesai," batinku. Masih berbincang, ibuku tak menyadari aku membuka dokumen pentingnya ini. Lembar demi lembar sampai ke halaman yang benar-benar membuatku tersentuh. Aku lupa bagaimana persisnya kalimat yang telah diurai oleh beliau, kau mau tahu isinya? "Tulisan ini saya persembahkan untuk anakku, Rona Hafida Heriyanto Putri. Selamat ulang tahun yang ke-13."
Sesuatu meluncur di pipiku, aku yakin itu bukan peluh.

Remembering that thing is just making me think; she's done everything, she's given me everything, and....what have I done for her, then? What am I gonna do?

Yaa Allah, berikan aku kelancaran serta kemudahan menuju citaku. Berkahilah, Yaa Rabb. Bimbinglah hamba. Amin..


-----------------------------


Begitulah... Sesuatu akan terasa begitu berharga, saat kau mencoba mengingatnya, dengan manis :)

No Title To Display, No Word To Explain

Mataku terbuka, tepat pukul 2 lewat empatbelas menit dinihari. Seketika ayalku terbang, bebas, bak burung di penangkaran yang berhasil kabur. Bebas baginya, dan menderita kutanggung. Kau tahu? Sepi menyusup masuk, entah lewat ventilasi udara, ataukah pintu kamar yang malam ini lupa kututup. Masa bodoh, aku tak ingin memikirkan bagaimana ia bisa menyelimutiku pagi ini, yang penting, aku kesepian.

Tak pernah aku merasa sesepi ini; selalu ada yang membuatku nyaman, lawan bicara, salah satunya. Ya, biasanya selalu ada teman yang siap mendengarkanku, apapun yang kukatakan, bahkan cercaan yang kulemparkan. Oh iya, musik juga biasanya turut andil membangun kenyamanan terhadapku.
Lalu, mengapa pagi ini tidak? Mengapa semua sungguh berbeda?
"Tanpamu, mungkin..." tembakku.

Duapuluh empat menit selepas pukul 7. Tak tahu mana yang lebih tepat, baru sempat atau baru menyempatkan untuk menulis. Sempat, karena ini, dan ini--kau pasti tahu bagian mana saja yang aku tunjuk--, sangat sesak. Penat, atau semacamnya. Menyempatkan, karena aku memang enggan menulis sejak perasaan itu hadir, aku lebih memilih menikmatinya daripada menuangkannya. Dan kau tahu? Perasaan itu masih jelas, sangat ketara hingga saat ini.

Bersyukur, pagi ini muncul keinginan untuk membuka blog salah satu temanku. Demi Tuhan, aku rindu padanya. Amat. Sangat.

Diceritakan di sana, bagaimana kami, teman satu kelas menghabiskan waktu bersama. Membunuh tekanan yang sering diberikan pada kami, dulu. Mengabaikan 'gunjingan' dari teman--beda kelas, beda program--lain yang sungguh, sebenarnya mereka nggak mengerti.

Aku benci perasaan ini. Merindukan seseorang, sebelumnya, kemudian muncul lagi siluet kenangan lampau yang jelas hanya bisa dikenang dan dibagi, tanpa bisa diulang. Aku....hancur.
Ladies and Gentelmen, please welcome, Rona, the girl whose heart is breaking in the Sunday morning!

Apa-apaan itu? Efek rindu, mungkin?

Aku ingin kembali ke masa itu, masa dimana aku tak mengenalnya. Hanya tahu, dan mengabaikannya. Hanya melihat, dan tak 'mendengarkan'. Hanya menulis, tanpa membaca.
Sudahlah, mungkin ini saatnya berpindah. Maksudku, bergerak--atau semacamnya. Lebih baik aku tak diam di tempat dan sibuk memikirkan kesakitan hatiku. Bukankah itu cara bertahan hidup di zaman ini? Tidak lagi harus memikirkan bagaimana memanfaatkan tanaman untuk bahan pangan karena ketersediaan makanan yang menipis akibat dijajah. Sekarang penjajahannya berbeda; penjajahan moral, mental, dan ....hati?

Aku ingin menceritakan yang lain saja. Hmmm. Mengenai apa yang ditulis temanku di blog pribadinya, barangkali? Baiklah.


----------------------


22 Desember 2008
Ulang tahunku, di sekolah baruku.

Ya, pagi itu aku datang dengan kaus merah berlengan panjang. Datang sebelum pukul 7 pagi, Hari....Senin, seingatku. Hampir semua teman yang rencananya akan melakukan study tour bersamaku di hari itu, membiarkanku mati kesepian. Atau mereka sengaja membunuhku, sengaja, dengan membungkamku? Ah, lupakan. Aku berhasil, berhasil diam pada mereka yang mendiamku. Haha! 1-1.
Briefing, limabelas menit mendengarkan ceramah guru pendamping. Dua teman dekatku datang, dan berbisik, "Duduk bareng kami, ya?". Aku terkekeh dalam hati, "Kalian gagal dengan rencana 'Mendiamkan Rona' kalian, kan?" 2-1!

Duduk di seat spesial, di hari spesial, bersama teman spesial, ke suatu tempat spesial. Kurang spesial apa, hari itu?

Sesampainya di laut, kukabarkan semuanya; kepada karang, kepada ombak, kepada matahari. Tetapi semua diam, tetapi semua bisu; tinggal aku sendiri, terpaku menatap langit. Ups, aku malah bernyanyi.
Sesampainya di laut (serius!), kami berdiri, berjajar di sana, having chat with the others.
Oh iya, Pantai Baron, Gunung Kidul, yang saat itu menjadi pijakan kami. Tidak lama berada di sana, hanya mendengarkan penjelasan tentang sungai bawah tanah yang bermuara di pantai itu, dan observasi untuk mata pelajaran Sosiologi. Pantai Baron ini memang disiapkan dewan guru kami untuk pembelajaran IPS Terpadu. Setelah matahari tergelincir, kami dipersilahkan melakukan ibadah dan makan siang. Masih di spot yang sama, sampai akhirnya kami mengucapkan selamat tinggal. Terima kasih, Pantai Baron.

Masih berlanjut....
Di sini serunya, guru pengampu mata pelajaran Biologi kami menjanjikan kesenangan, maksudku, kami bisa bermain di pantai selanjutnya. Pantai Kukup!
Giliran IPA Terpadu yang menemani siang kami. Mempelajari biota laut, menghitung massa jenis, begitulah. Setelah semua terselesaikan, kami merapat ke pinggir laut.

Dag-dig-dug-duer! Aku sama sekali tidak curiga pada teman-temanku. Mereka kalem, seperti biasa.
Aku hanya berdiri, menikmati sepoi angin sore, saat yang lain sibuk dengan air yang beriak itu. Aku merasa memiliki kehidupan sendiri, memperhatikan nyiur melambai.
Hap! Lengan kanan dan kiriku ditarik--sangat kasar, untuk wanita lembut sepertiku--oleh kedua temanku. God! Mereka laki-laki, tolong, jangan apa-apakan aku! Cukup. Hentikan -_- Kakiku juga dipegangi oleh teman-teman yang lain, aku digotong. Sontak, aku memberontak, menjejak, mencoba memukul. Ah, sial, percuma. Firasat buruk.

Semua orang berkumpul, lantas berteriak: "Satuuuu..... Duaaaa..... Tiiigaaaa!!!"
Bersyukur kepalaku tidak membentur karang, mereka baru saja melemparku atas komando yang lain. Terharu, mereka menyiapkan kejutan, terlebih yang membuatku bersyukur dan tersentuh, mereka ingat tanggal ulang tahunku. Subhanallah :)

Tak lama kemudian, aku ditarik dan dikubur hidup-hidup di pasir putih Pantai Kukup, tanpa ampun. Untungnya, kepalaku dibiarkan berada di atas permukaan. Tunggu, tangan kananku juga, ternyata. Setelah dihujani pasir, aku dihujani uluran tangan. Masya Allah, mereka menjabat tangaku yang 'tertinggal', mengucap "Selamat Ulang Tahun" dibarengi doa yang tak pernah lelah aku panjatkan pada Tuhan setiap hari. "Terima Kasih" dan "Amin", dua hal-tiga kata yang bisa aku ucapkan. Hanya itu.

Kembali ke rumah, kepalaku serasa ditimpa beban 5 kilogram. Mungkin akibat mengenakan kerudung basah. Hmm.

Perasaan tidak nyaman di kepalaku itu, sama sekali tak sebanding dengan apa yang aku dapat di hari itu. Sungguh, bahkan aku masih bisa memikirkan hal lain, hal yang menyentuh, sangat dalam; mereka yang belum lama aku kenal; satu, dua, tiga, empat, lima, enam bulan sejak pertama kali kami bertemu. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan, telah mempertemukanku dengan mereka.
Alhamdulillah :)

----------------------

Mengingat-ingat hal yang menyenangkan tak seburuk yang aku bayangkan. Sebelumnya, aku mengira dengan mengingat, apalagi menuliskannya, aku akan tersakiti, lebih dari rasa sakit hanya dengan merindukan kejadian itu, lengkap dengan aktor-aktris yang berperan.

Inspirasi.
Aku jadi tahu, apa yang selanjutnya akan aku tulis, untuk seterusnya. Bukan hanya keluhan yang seharusnya aku bagi, namun juga yang membahagiakan :)

Saturday, September 1, 2012

See?


Jika dia selalu mengingatmu meskipun kau tak pernah mengingatnya;
masih inginkah kamu meninggalkannya demi orang lain?

Jika dia tetap tersenyum meskipun terluka saat menatapmu,
masihkah kau ingin menyakitinya untuk kesekian kali?

Jika dia tetap membawa namamu dalam doa,
meskipun tahu kau tak mendoakannya;
masihkah kau ingin mengabaikan perasaannya?

Dan, jika dia tak pernah lelah menunggumu,
masihkah kau menganggap perasaannya sebagai mainan?

Thursday, August 30, 2012

Kelas

Ini mata pelajaran penting, Fisika. Kutinggalkan sejenak angka-angka serta rumus yang menyertai. Ups, bukan sejenak, melainkan aku di sini tak mengikuti dan bahkan tak berusaha mengejar kereta yang ditumpangi teman-teman kelasku, sama sekali.

Berapa debit air yang dialirkan melalui pipa dengan diameter 7 sentimeter dan blablabla....?
Maaf Bapak, saya lebih memilih berkutat dengan serangkaian huruf di hadapan saya dan merangkainya dalam ratusan bahkan ribuan kata. Terima kasih telah bertanya.

Untung saja aku tak menjawab dengan "Bapak, kepo banget sih?" atau mungkin.... "Terus gue harus bilang wow, gitu?"
Sudah tidak memperhatikan, tidak menjamah soal yang beliau beri, malah mau menantang. Beginikah pelajar Indonesia?
Tidak! Jawabku tegas. Tidak semua pelajar seperti diriku. Lihatlah sekitarku! Maaf, aku lupa, kalian tidak bisa melihatnya, hanya aku dan teman kelasku yang tahu. Mereka, enambelas anak lain yang dapat jelas kulihat, berpikir dalam diam, seperti aku. Bedanya, mereka berpikir bagaimana air dapat mengalir sebanyak 25 liter dalam waktu satu menit ....dan aku? aku berpikir bagaimana mengutarakan perasaan di tulisanku kali ini. Beda tipis.

Jangan dikira apa yang sedang 'kuperjuangkan' itu mudah; semudah mencontek saat ditinggal guru di sela-sela ulangan harian fisika. Maaf, guru dan ulangan harianku, maksudnya.
Perasaan? Apa itu perasaan? Makanan khas Jawa Timur? Ha-ha. Garing.
Masih di sudut kelas, melihat ke seluruh penjuru ruang ini. Sempat terpending menulis karena seseorang datang dan....entahlah. Lanjut. Sekali lagi, perasaan? Perasaan apa ini? Rindu yang tak tahu kepada siapa ia meraung, rindu yang tak diketahui juga apa yang sebenarnya dirindukan. Ah, belibet.

Sekitar lima menit menuju kemerdekaan sementara. Tetapi sang pengajar telah beranjak dari singgasana isitimewanya. Berarti sudah sepenuhnya merdeka 'sementara'.

Shit! Tetiba lagu yang terputar meneriakkan syair: "I was born to tell you 'I love you'".
Sial, 'you' itu siapa? -___-

Lelah menerka. Lelah mencari. Bahkan, lelah menanti. Hanya untuk menanti...

"Memang menanti semudah itu apa?" Kata sese...hmm sesuatu. Karena bukan seseorang yang mengatakannya; melainkan sesuatu. Entah, mungkin benar, aku hanya lelah.
Aku manusia dengan kesabaran yang limit. Limit ....x mendekati nol, jika kau tahu maksudku. Lupakan, lupakan!

Sekelompok orang di seberang sana membicarakan durian. Mengupas durian? Bagaimana caranya? Yakin kau akan mengupasnya? Dengan apa? Kau tak takut tanganmu terluka terkena duri durian hanya karena akan ....mengupasnya?

Jujur aku takut, takut terluka. Terluka segalanya. Kulit, organ dalam, apapun; apalagi hati dan perasaan.

Iqamah berkumandang, dan aku sama sekali belum tergerak untuk pergi ke masjid. Menunda. Astaghfirullah...

Sudahlah, cukup. Rasanya semakin tak keruan. Semakin sesak dalam diamku ini.
Tuhan... Aku butuh seseorang. Seorang teman... Kokoronotomo.

Tuesday, August 28, 2012

Hujan dan Kamu


Aku suka melodi hujan, tapi aku tak suka petir 

Aku harap dia bisu 

Petir itu sombong, mentang-mentang paling bercahaya, bisa marah-marah sesukanya 

Awan jadi takut, dia gemetaran, keringat dinginnya turun 

Kasihan awan, dimarah-marahin petir 

Sabar ya, kamu berkeringat, tangismu pun semakin kencang 

Petir, bumi sedang tak ingin berdisko malam ini, bisa hentikan kilat-kilatmu? 

Kamu kalau marah seperti petir.

Aku diam dalam getir.

Sunday, August 26, 2012

#6

"Jangan singgah, tinggal."

Tulis, Tulis, Tulis

Ya, kepalaku sakit lagi. Serius. Sakit sekali.
Nggak bisa seenaknya menyalahkan ini-itu, menyalahkan temanmu yang work-less, apalagi menyalahkan acaranya. Sudah teragenda rapih, sekarang isi kepalaku yang berantakan. Acaranya bisa dibilang sukses kok, kata siapa? Kata kami, kami yang 'mengurus' acaranya. Jelaslah...

Terus, kenapa isi kepalaku berantakan? Suka-suka aku laaaah..
Tapi aneh, bukan 'suka-suka aku', kalau aku bisa mengaturnya pasti sudah kubersihkan, kutata, dan kukecup (?)

Memikirkan ini, memikirkan itu. Tiga ulangan menanti, Biologi, Kimia, dan Matematika. Menyesal, karena selama libur (kau tahu, libur bagi anak SMA itu hoax, bukan?) aku tidak menggunakan waktuku untuk....belajar?

Oh iya, barusan satu pesan singkat masuk, intermezzo.

Lupakan line di atas. Random. Yang ini pun.
Sebenarnya arah pembicaraannya mau dibawa ke mana, sih? Aku bingung, dan lelah, dan penat, dan...terserahlah. Kepalaku yang sakit ini enggan berpikir jernih, persis seperti saat ulangan melanda. Haha, melanda, konyol.
Kenapa sakit terus? Karena sesuatu terjadi padaku, dahulu kala, yang membuatku sulit beraktivitas normally, seperti sedia kala.

Balik, yuk. The point is....nggak ada. Karena keinginanku untuk menulis kembali meluap ke permukaan.
Sebenarnya aku ingin cerita mengenai kepalaku and stuffs, tapi nampaknya dan aku yakin itu kurang etis. Nggak pengen aja terlihat miserable, dan menurutku, itu sesuatu yang sangat pribadi. Hanya membutuhkan satu teman untuk membagikannya. Lihat saja.

Lewat pukul 3 dinihari. Kenapa kau tak pergi beribadah, menemui Tuhanmu agar kau bisa lebih tenang? Lebih pantas kutanyakan hal yang sama pada diriku. Tapi enyah, kepalaku tak ingin bangkit dari kubur, bukan bukan, tapi bangkit dari sandaranku yang nyaman ini.

That's all, babe, segitu dulu deh yang aku share.
Doakan aku, agar aku bisa lekas sembuh meski aku tahu nearly impossible buat bisa pulih dan balik kaya dulu. Oh iya, semoga juga aku, kamu, dan mereka bisa segera menyelesaikan masalahnya, semoga kita diberi yang terbaik. Kalo boleh minta didoakan lagi, doakan aku semoga bisa cepat kembali dengan tulisan yang bermutu, tulisan yang kece, dan bukannya seperti tulisan yang... begitulah. Amin.

Friday, August 17, 2012

Your Call


Waiting for your call, I'm sick, call, I'm angry

Call, I'm desperate for your voice


Listening to the song we used to sing

in the car, do you remember?

Butterfly, Early Summer


It's playing on repeat, Just like when we would meet

like when we would meet

Cause I was born to tell you I love you

And I am torn to do what I have to, to make you mine

Stay with me tonight



Thanks Billie, atas lagunya.
Romantis badai kalo kata anak jaman sekarang mah. Bukan romantis perkaranya, namun lirik yang .....erh really fit. *hmm*

Sebelumnya, maaf di posting ini bahasa yang aku gunakan mungkin sangat, sangat santai. Ya, nggak tahu juga posting sebelum-sebelumnya bahasanya model gimana, tapi ini lebih nggak bermutu, menurutku. Dengan kenyataan banyak garis berliku berwarna merah--kau tahu kan, maksudnya apa?--di bawah kebanyakan kata yang aku tuangkan di sini.
Jadi ....mohon maaf sebelumnya.

(12:01 AM)
Oh, itu. Itu waktu pertama kali baca 'tulisan' milik Billie, belum lama aku kenal, yang menyarankanku mendengarkan lagu itu. Your Call, judulnya. Pelantunnya? John Vesely, kalau saya nggak salah ingat. Walaupun aku sering menyebutkan "Uh-oh. Ingatanku seperti gajah," bukan berarti aku juga tak bisa lupa, segalanya.
Terkadang menyakitkan saat kamu adalah satu-satunya orang yang berusaha, atau bahkan tanpa usaha sedikitpun untuk mengingat segala hal, tentangnya, tentang kalian.
Kembali ke 'Bang John', Si Abang ini menamakan dirinya sebagai Secondhand Serenade, nggak jauh beda dengan soloist Adam Young, Sang 'Owl City'.

Kata-katanya galau, ya memang, siapa bilang tidak?
Menggambarkan perasaan seseorang terhadap orang yang dikasihinya *you don't say*, telah kandas.
K-A-N-D-A-S. Haha.

By the way, sudah sekitar tujuhbelas menit semenjak aku menguatkan niatku untuk menulis. Menulis itu candu. Sekali lagi, menulis itu candu, aku sudah pernah menuliskannya di salah satu masterpiece--terserah sajalah--ku, dan sengaja tidak kupublikasikan. Merasa sangat jauh dari sempurna.

Apasih intinya tulisan ini?
Kau tak akan pernah menulis jika hanya itu yang ada di kepalamu saat kau menulis. "Tulislah meski sedikit!" kata seseorang.
Jika kau benar ingin tahu, tidak ada intinya tulisan ini. Pernahkah kau hanya memikirkan seseorang, atau paling tidak sesuatu, saat kau sedang menulis? Menulis yang melibatkan emosi dan perasaanmu, I mean.

So here I am. Persis seperti apa yang baru saja kutanyakan padamu. Memikirkan seseorang, dan aku tidak yakin dia memikirkanku juga. Sangsi. Tunggu, bukan Billie. Sesosok yang lain, di sana.

"And I'm tired of being all alone, and this solitary moment makes me want to come back home."

Sunday, August 12, 2012

Goodbye

Some people come into our lives and quickly go. Some stay for a while, leave footprints on our hearts, and we are never, ever the same.

There are moments in your life that make you and set the course of who you're gonna be. Sometimes, they're a little, subtle moments, and sometimes they're big moments you never saw coming.
No one asks for their life to change, but it does. It's what you do afterwards that counts.
That's when you found out who you are.

Just one thing, please promise me you'll never forget me because if I thought you would I'd never leave.

Apa?

Harus hidupku se-miserable ini? Harus?

Ya memang tahu sih, tahu benar hidupku yang 'lil bit in the misery, but I never meant to be soooo miserable.
Being miserable is a choice. Antara kamu mau hidup bersyukur atau penuh dengan keluhan. Antara kamu mau menikmati hidup, atau kamu cuma ingin mereka tahu kalau kamu manusia biasa yang jauh dari yang kamu--dan mungkin mereka--harapkan.

Sama sekali nggak ada niatan untuk mengeluh, sama sekali, apalagi atas apa yang telah Tuhan beri. Takdir yang mungkin tidak akan berubah. Lagi pula, harus mengeluh pada siapa aku? Bercerita pada siapa?
Menurutku, terkadang lebih baik diam daripada menjelaskan apa yang sedang dirasakan, karena menyakitkan saat mereka bisa mendengar tapi tak bisa mengerti. Saat mereka dapat melihat namun tak dapat merasa.

Jangan coba menerka apa yang telah aku tulis, bahkan aku pun tak paham. Hahaha.

Tahu kan penggalan lagu, "You can't expect me to be fine, I don't expect you to care." kepunyaan Maroon 5 itu? Bukan bermaksud untuk menjadi seorang 'antisosialis', sungguh.

Thursday, August 9, 2012

Think Again

Aku melihat wajah beliau, memperhatikan setiap detailnya. Setiap inci, dari kening yang tak pernah berkerut karena kecewa atau rasa marah yang seringkali menyesakkan, mata yang tak pernah terlihat mengeluarkan air mata kesedihan, pipi yang mulai berkerut, pipi yang sering disinggahi peluh, dan bibir yang tak pernah cemberut lesu.

Seketika aku teringat akan kejadian--yang aku yakin tak ada yang ingin menerimanya. Kenyataan pahit yang dialami seseorang yang baru saja kukenal. Aku kenal, hanya tak tahu namanya.
Coba kau bayangkan, kau anak perantauan, datang ke kota lain hanya untuk menuntut ilmu, mengenyam pendidikan yang--kau pikir--lebih baik dibanding yang ada daerahmu, kemudian seseorang menelponmu dengan suara lemas dan isakan sesekali ....dan mengabarkan berita 'kehilangan'.

Inikah? Takdir pahit yang harus dihadapi 'adikku'? Adik baruku? Melihat raut wajahnya, sungguh aku tak tahu bagaimana aku saat ada di posisinya. Berdoa, menyebut asma-Nya. Mencoba tegar dalam diam. Ingin menangis, bahkan tak bisa. Aku membeku di hadapannya ....apa yang harus kuperbuat? Apa yang harus kuucapkan untuk memulai percakapan? Untuk menjadi pelipur lara--sementara?

That's not the point, anyway. Aku hanya ingin menceritakan ibuku.

Sudahkah aku membuatnya bangga? Sekali lagi, sudahkah?


-----


Malam ini aku bercerita pada beliau, yah, mengenai masalah yang baru saja aku ceritakan. Beliau duduk di hadapanku dengan posisi lebih tinggi, menyimak dengan baik--I guess so.
"....aku sedih." Dua kata terakhir yang kuucap pada beliau. Beliau memelukku. Seketika itu, aku menangis...

Kita bisa apa? Mumpung orangtua masih hidup, ayo bahagiakan mereka! Yang patuh. Bekerja untuk bikin mereka bangga. Insya Allah, kalau kita sekeluarga termasuk orang yang taat, akan dipertemukan lagi di surga. Insya Allah.

Menenangkan, namun membuatku semakin sesak. Nafasku menjadi terengah-engah.
Belaian itu datang di rambut yang belum sempat kusisir sehabis mandi. Semakin lama semakin menjadi-jadi, aku terisak.

I used to be tough. Rasa malu mencoba menghentikan air mataku dan mencari cara agar ibu tak mengetahui 'kemenangisan'-ku (mungkin KBBI perlu menambah daftar kosakatanya dengan kata barusan agar kalian tahu apa yang aku maksud). Otakku menjadi lebih cerdas seketika, dan mengendalikan bibirku untuk berucap "Aku mengantuk."
Tawa ibuku hadir, aku pun terpengaruh. Beliau beranjak dan menyuruhku untuk segera tidur.


Intinya?
Cobalah untuk menjawabnya sendiri, dengan begitu, kau akan memikirkannya meski sejenak. Jika bahkan kau tak menemukan jawabannya, kau bisa scroll the screen up dan cari di sana. Tak sesulit menjawab pertanyaan yang kau dapat di sekolah, kok.

Tuesday, August 7, 2012

Nothing

Apa ini yang seharusnya dilakukan seorang muslimah saat muslim lainnya sedang membaca Kitabullah?
Menulis dan masa bodoh akan apa yang mereka baca.

Sangat salah, seharusnya aku paling tidak mendengar dan memperhatikan bacaannya, tapi apa? Maafkan aku, Tuhanku, saat ini sungguh aku ingin menulis. Perasaanku benar-benar kacau. Berhubung tidak ada lagi seseorang yang bisa dan mau mendengarkanku, mungkin komputer jinjing inilah satu-satunya yang ada saat ini--tentu selain Tuhan, mendengarkanku selagi yang lain acuh.
Salah, bukan acuh. Namun mereka memang sedang mengerjakan apa yang diperintahkan Tuhannya ....selanjutnya? Mereka baru bisa kukatakan acuh..

Selalu saja. Saat aku sudah bersiap mencurahkan segalanya, bahkan air mataku, pasti otakku bekerja lebih baik dari sebelumnya. Aku batal menuangkannya di tempat yang sebelumnya kupikir akan kujadikan tempat sampah dan membuang-buang air mataku; aku lebih memilih bungkam. Dalam diam, merapikan segalanya. Ya, segala yang ada di kepalaku sekarang. Sesuatu yang kupanggil hati berhasil disabotase otakku yang cerdasnya di atas rata-rata--untuk hanya dalam beberapa kondisi saja, saat-saat tidak penting, and when I need it the most it won't work.

Sepertinya otakku masih bekerja, dengan sangat baik. Aku gagal menulis--ya kau tahu ini hanya kiasan. Dan sesekali bernyanyi:
"Where are the plans we made for two?"

Saturday, August 4, 2012

Gotcha!!

Here I am, trapped in the most awesome class! :D





Tiea, I caught you! :))


Sunday, July 22, 2012

Tip of My Tongue

"If you'd only let me in I'd show you, but I'm tired of working so hard."

You keep pushing me away, tearing down your walls is forcing me to break. Don't know what to say, will you ever let me in? It's hard for me to pretend.
So tell me what you wanna do, tell me, is there any other way?

Because goodbye's on the tip of my tongue, tell me there's a reason to stay!
Cause I'm about to get up and run, better think about the words you say. If you don't wanna end up alone, tell me, is there any room for me?
Cause when it's all said and done babe, I'm tired of singing.

Goodbye's on the tip of my tongue...

Never confuse me with where you've been, because I don't really work like that, if I'm holding you then I'm all in..
I know you're scared, yeah you've been burned but I won't ever hurt you like that, if you'd take a chance I'm not like them.

Give and get nothing in return,
You don't seem to care,
You're not the only one who hurt...

Tuesday, June 26, 2012

Friday, June 15, 2012

#5

"I like drinking coffee alone and reading alone. I like riding the bus alone and walking home alone. It gives me time to think and set my mind free. I like eating alone and listening to music alone. But when I see a mother with her child, a girl with her lover, or a friend laughing with their best friend, I realize that even though I like being alone, I don’t fancy being lonely. The sky is beautiful, but the people are sad. I just need someone who won’t run away.

.......

Saturday, June 9, 2012

Little House

I love this place, but it's haunted without you
My tired heart is beating so slow
Our hearts sing less than we wanted
Our hearts sing cause we do not know

We do not know to light the night,
to help us grow
It is not said, I always know

You can catch me, don't you run

If you live another day in this happy little house the fire's here to stay
to light the night to help us grow
It is not said, I always know

Please don't make a fuss, it won't go away

The wonder of it all,
the wonder that I made,
I am here to stay

Stay

Wednesday, May 30, 2012

Belongs to Nowhere

Apa? Apa yang harus kutulis?
Tentang bagaimana perasaanku hari ini, kemarin, kemarin lusa, kemarinnya kemarin lusa, kemarin lusanya kemarin, atau apa?

Hai, aku baik-baik saja--maksudku, sempat baik-baik.

For the very first time, biarkan sejenak aku menenangkan pikiran, yah, walaupun aku tahu setelah ini pasti ada saatnya untuk menjadi kalut.
Aku ingin bertanya .....how are you when you've got what you were longing for, then all you can do is just to throw those things away and....move to another place? a foreign place? somewhere you don't even know what kind of activity to do and you just can sit there, wait for your mommy comes and hugs you....


English Grammar-ku payah, ya? Ha-ha-ha. Bagaimana mungkin seseorang akan membawaku pergi ke belahan dunia lain yang jelas-jelas tidak mengenal apalagi menggunakan bahasa Indonesia ....juga logat dan tata bahasa Inggrisku yang payah ini?


---------------------------------------


Awalnya, kau ingin pergi. Jauh dari mereka. Jauh dari masalah-masalah yang selama ini mengancam, mengincar kesehatan jiwa dan mentalmu. Kemudian kau bersabar, kau menunggu hingga semuanya terasa baik. Aku tahu pekerjaanmu sehari-harinya; kau hanya duduk di sana, di penjuru ruangan dimana kamu ingin selalu bersama dengan 'penghuni'-nya, selamanya. Atau mungkin kau hanya menunggu di luar ruang--tepatnya di ambang pintu ruangan, menunggu mereka menyapamu, menegur dengan ramah, atau semacamnya.

Ya, kau hanya diam dan bersabar. Mencoba tegar dengan senyap.

Lambat laun, sedikit demi sedikit kesabaranmu terbayar. Kau berhasil bergabung dengan mereka, kau berhasil menyesuaikan diri, dan selamat....kamu diterima.

Namun semua sirna saat salah satu bagian dari dirimu tak sanggup lagi menopang masalah-silam-mu. Organ itu tak lagi mampu bekerja sempurna ....nyaris mati.
Sesuatu yang entah-darimana-asal-nya, sesuatu yang kau tidak ketahui datang, dan detik demi detik menggorogoti organmu, seakan iri atas apa yang telah berhasil kau lalui; seperti Negara Api yang tak menginginkan negeri lain maju, mendapat apa yang seharusnya mereka dapat, dan kau ingin memberontak.

Coba pikir, apa seseorang bisa hidup sempurna tanpa anggota tubuhnya yang tak bisa berfungsi dengan baik, apa bisa? Apakah sanggup? Bahkan anak yang hidupnya dikaruniai organ yang lengkap dan sehat masih ada kekurangan, dan tidak dapat hidup sempurna. Nyaris tak satupun manusia diciptakan sempurna.

Ya mau bagaimana lagi? Aku memang ditakdirkan begini, tapi, tunggu ....ini takdir atau nasib? Bukankah kalau ini adalah nasib, aku bisa mengubahnya, maksudku, berusaha dari awal. Aku akan mengupayakan hidupku sempurna, tidak akan ada lagi makanan tidak sehat, tidak akan ada lagi jadwal tidur malam--tapi itu kalau aku memang sakit karena gaya hidup kurang sehat, tapi bagaimana kalau memang organku tidak dapat berfungsi dengan baik sejak Ia menciptakanku?


Intinya, aku tak siap. Mungkin dengan ketidaksiapanku ini membuatku berpikir bahwa aku takkan sanggup. Ya ...tak akan sanggup pergi darinya, pergi dari ia yang selama ini aku perjuangkan. Perjuangkan? Hahaha. Very Funny. Mungkin bukan juga kuperjuangkan, entahlah kau menyebutnya apa.

Eropa dan Asia. Mendengarnya saja sudah berat, maksudku, berat 'for imagining how is my live would be there', apalagi tanpa kalian, dengar? Tanpamu.....



---------------------------------------


Kalian harus tahu bagaimana aku dulu, saat aku benar-benar ada di bawah .....di bawah kalian. Bertahan dan berusaha. Dan kini, aku harus pergi. Mungkin. Karena perbandingan kesempatanku untuk tinggal dan untuk pergi tak kurang dari 50:50.
Maafkan jika aku, ragaku, usahaku, dan segalanya mengganggumu. Maafkan. Doakan aku pula.

With love,

Yours

Wednesday, May 16, 2012

Arti Sebuah Nama

Rabu, 16 Mei 2012

Mungkin posting ini nggak begitu penting buat dishare, tapi menurutku isi posting ini penting banget.

Tiea Khatija. (Tiea dibaca Tia--red).
Intinya itu aja sih, aku udah tau 'udang' yang tersembunyi di balik nama Tiea. Oiya, tentang Tiea bisa dicek di Special Post #3 (12/04/11).

Wednesday, April 18, 2012

#4

"The prettiest smiles hide the deepest secrets. The prettiest eyes have cried the most tears. And the kindest hearts have felt the most pain."

You'll Know The Thing

Kalau aku diizinkan bertanya, apa sungguh aku tak pantas untuk bisa bersamamu?


Hari ini adalah hari yang baik, harapku. Ya, hanya harapku.


Datang ke ruangan yang telah berisi banyak anak sepantaran, ruangan yang tak begitu penuh dan anak-anak yang ada di dalamnya hanya terlihat bak semut dalam sekaleng gula pasir, hanya ada satu-dua anak saja. Bukan, namun duabelas anak dalam ruang berkapasitas tujuhpuluh lima orang.
Mataku mengembara di sana, mengajak ayal yang sejak tadi penuh dengan harapan "hari yang baik". Dua orang di ujung pandanganku asik melahap kue goreng berbentuk lingkaran hasil karya enam orang anak, anggota mereka.

......dan satu anak di sudut lain sudah datang.


Apa? Apa salahnya? Dia hanya diam tanpa kata, and do nothing.


Seorang lain menyebut nama, ya, namaku. Aku yang sebelumnya telah melangkah maju di antara pasang demi pasang meja multifungsi--yang biasa digunakan belajar, bermain, alas tidur sekalipun oleh tuannya--sontak berbalik arah.
Dia? Sungguh, dia? lagi, untuk kesekian kalinya, beberapa kalimat tanya berlarian dalam kepalaku, membentur bagian-bagian rawan dan vital di sana.

"Ya?" tanyaku dengan suara dan tatapan ramah, sungguh aku tak bisa menghilangkan kebiasaanku ini--menjadi ramah, lembut dan penuh perhatian padanya.
Dia mengatakan hal yang memang itu tujuannya dia menyapaku di pagi hari, menjadi orang yang pertama kali menyapaku. Aku menatapnya dalam-dalam, pikiranku terbawa memori lalu yang tak mungkin bisa kembali bersamanya.
"Ya? Heeey! Kamu dengar?" terkejut, sungguh, dia menanyakan sesuatu padaku, dan aku hanya berkata "Ya." Tak ada kata lain yang sanggup keluar dari mulutku. Tepatnya, tak sempat untuk memikirkan hal lain usai memikirkan dirinya.

Aku rindu padanya....
Maksudku, dia yang dulu. Dia yang tak akan bisa kembali.

People change, I knew ....but I'm not the one who responsible to be used to it.


Setelah ia merasa urusannya denganku selesai, ia tak lagi bercakap. Sakit... ia hanya berbicara padaku saat ia butuh, dan tak mengerti saat aku membutuhkannya, seperti itukah seharusnya kita?


Lagi, lamunanku terpecah saat seseorang yang tadinya kulihat asik dengan donat hasil tangannya itu menyapaku, menawarkan sesuatu. "Tidak," kataku. Seluruh pikiran dan konsentrasiku masih tertuju pada makhluk Tuhan yang pertama menyapaku, tadi. Yah, walau aku tahu, bahkan dia tak mengetahui aku masih di balik punggungnya sekalipun.

Memang begini adanya, memang begini seharusnya, aku ada di belakangnya tanpa pedulinya, benarkah? Tak biasakah aku ada di sampingnya, ada di setiap kali ia membutuhkanku, atau sebaliknya? Tuhan.... sungguh, beri aku kesempatan.
Suara siapa itu? Siapa yang sibuk membacakan narasi di kepalaku? Siapa? Mengganggu saja.

Sudahlah. Aku memilih duduk di ujung ruang ini, memudahkanku 'mengawasinya' dan aku hanya tak ingin ada dalam keramaian, that drives me crazy, makes me can't think about something--someone.

Membuka sebuah buku, karya novelis andal kelas dunia, Nicholas Sparks. Kubuka lembar demi lembar kertas berbau khas itu. Dear John, judulnya.
Fokusku terpecah, sesekali aku melihat ke depan, melihatnya.
"Lelah, jujur, sangat melelahkan menjadi orang baik. Berpura acuh jika seseorang yang selama ini 'kuberi kebaikan' tak berbuat baik kepadaku, tak membalas budi-budiku." Mengejutkan, cemburuku menimbulkan hal buruk yang lain, kesombongan. Ha-ha-ha, tawa kecilku dalam hati.
Buku di tanganku lebih menarik perhatianku dibanding seseorang yang selama ini kuperhatikan, mungkin hanya untuk saat ini.

....kau tahu apa?


"Love meant that you care for another person's happiness more than your own, no matter how painful the choices you face might be."


Here I am, a broken-hearted jealousy girl reading a novel that really fit to her.
Ya, kau tahu sendiri, "cinta dan kasih sayang akan membuatmu mengutamakan kebahagiaan orang yang kau sayangi dibanding milikmu, tak berarti apapun, seperti perih--sakit yang akan kau hadapi setelah keputusan yang kaubuat untuk membuatnya bahagia."

Wednesday, April 11, 2012

Selamanya

Hanya terduduk, terdiam di sini. Tatapan kosong. Suara yang sayup-sayup di telinga, memancingku untuk mengisi pikiran yang sedari tadi kosong, tepatnya hanya ada sebagian bayangan di sudut sana, seseorang yang belum, atau malah tak mungkin bersamaku selamanya.

Aku tersadar, melihat seisi ruang dari seluruh penjuru; barat, timur, utara, selatan, tenggara, lalu ke arah berlawanan.

Seperti tersetrum aliran listrik 220 watt--daya yang biasa digunakan di negaraku--, tertegun melihat kawan-kawan seperjuanganku yang bermain dengan warna pelangi. Sungguh, aku tak mengerti. Intinya, mereka berhasil hidup, tanpaku di sana.

"Udahlah, udah biasa juga, kan?" itu suaraku, suara yang sebenarnya datang dari kepalaku namun terdengar seperti suara khas milik salah satu kawanku di sana, yang sebelumnya mengisi sudut pikirku yang kosong, sampai saat ini, dan mungkin selamanya.

"Apa salah? Aku juga ingin ke sana, merasa bagaimana jika aku di sana, apakah akan berbeda? Akankah aku merasa bahagia di sana? Apa mereka menjadi lebih bahagia atau berbalik menjadi luka di antara kami?"


Tak kenal lelah, sang narator dalam khayalku tetap terjaga, berbicara, tak berhenti. Sedikit muak, namun benar apa yang dikatakannya, apa aku salah? Apa aku tak boleh berada di sana? Apa bahkan aku tak sedikitpun pantas bersamanya?


Sakit, kau tahu?
Pilu yang menyesaki dada.

Parasnya yang tak terkalahkan indahnya itu, kini terlintas, dan bahkan aku dapat melihatnya, nyata. Dia di hadapku, sayang, tak sedikitpun ia memperhatikanku. Tapi, untuk apa? Untuk apa juga dia melihatku, memperhatikanku, atau malah menganggapku ada? Aku bukanlah seorang yang penting di hidupnya, malah, aku datang hanya mengganggu kehidupannya yang sempurna.

Tidak melihat, memalingkan pandangan, tidak memperhatikan.....that's not working on me, okay?


Tubuhku yang selalu lemas dan lemah di sampingnya, asal kau tahu, aku mendadak lunglai saat ia sebut satu nama, namaku. Tubuhku yang sebelumnya terasa kuat--bak pohon dengan puluhan cabang tertiup badai, hanya goyah namun tak rubuh--kini terasa layu.

Hanya dengan melihatnya, aku selalu ingin melakukan semua hal--demi dia. Tanpa ia suruh pun, tanpa ia minta, aku rela membantunya saat ia butuh; menyediakan apapun yang ia butuhkan, bahkan inginkan; menolongnya untuk bangkit saat ia pucat.

Bukannya tak ikhlas atas apa yang telah kulakukan, memperhatikannya, menolongnya, menjaganya, namun aku hanya ingin ia tahu--tahu akan betapa kerasnya yang telah kulalui hanya untuk dirinya, terpaan luka yang tak bosan-bosannya menghantam, dan ia? Ia acuh nan tak peduli.
Sekali lagi, ini menyakitkan, memilukan. Pedih.
Setiap kata yang terlontar dari bibir manisnya itu, tak jarang berhasil merampungkan karya terapiknya, luka yang mendalam. Saat ia lebih memilih orang lain dibanding aku, di sanalah aku tersadar memang ia yang pantas memilih, dan yang terpilih mungkin pantas dipilih.

Pilihan kedua? Sudah biasa. Jujur saja, aku sangat lelah.


I really like you but I can't be the Invisible Girl, I'm tired of being the shoulder, I want to be another body part.

Tuesday, March 27, 2012

#3

"Smiling doesn’t always mean you’re happy …but sometimes it just means you’re strong. Smile, and show the world that you're strong."

Tuesday, March 13, 2012

Ada, di Luar Sana


Ada yang diam-diam mendoakanmu, dalam-dalam.

Percayalah.

Ada yang dadanya terasa berat dan kau tak

pernah tahu, saat kau tak tertangkap

matanya beberapa waktu.

Ada yang mengembangkan sesimpul

lengkung di bibirnya, di balik punggungmu,

malu-malu.

Ada mata yang berbinar sempurna dalam

tunduk sipu, tiap kau sebut sebuah nama,

miliknya.

Ada yang mengharap pertemuan kedua,

setelah matamu mendarat di matanya, tanpa

aba-aba.

Ada yang tak pernah berhenti mencatat.

Sebab, setiap kalimatmu adalah peta. Ia tak

mau tersesat.

Ada yang tak pernah melepas telinganya dari

pintu. Menunggu sebuah ketukan darimu.

Ada yang memilih terduduk saat jarakmu

berdiri dengannya hanya beberapa kepal.

Lututnya melemas, tiba-tiba.

Ada yang pernah merasa begitu utuh, setelah

kaki-kaki menjejak jauh darinya. Sekarang,

runtuh.

Ada yang diam-diam ingin disapa olehmu.

Percayalah.

Monday, March 12, 2012

#2

".....karena kepedulianku adalah setiap doa dalam emosiku."

Aku Sanggup

Aku bisa
Ketika aku melihat kau bersamanya siang itu

Aku sanggup
Ketika melihatmu tertawa karenanya

Aku mampu
Ketika melihatmu menatap matanya

Aku terima
Ketika aku tau kau jatuh cinta kepadanya 

Aku siap
Menerima kenyataan itu

Sekalipun tak ada yang bisa membendung mata ini untuk tak melihatnya

Tapi, tolong

Aku tak bisa, tak sanggup, tak mampu,
tak terima dan tak siap 

Bila aku harus melupakanmu dan mencintai yang lain.

Dan tolong

Jangan hentikan air mata ini

Karena mereka adalah bukti bahwa aku bahagia
melihatmu bahagia

--- Niemas

#1

Ia tersadar bahwa yang indah tak selalu baik rupanya. Seperti biru langit itu. Biru yang berbahaya. Biru yang ganas. Ia menjadi sedih. Seolah-olah biru yang berbahaya itu adalah tanda mengenai apa yang sedang terjadi di dalam hatinya.

Saturday, January 28, 2012

:"|

I wonder if she knows how much it hurts just to look at her and realize that she’s forgotten about us even if I probably never will, he thought.
I wonder if he knows how much it pains me to lie to every one, smile and say I’ve forgotten about us even if I can’t possibly forget, she thought.

Saturday, January 21, 2012

What Is Friend?




No Need To Be Worried

When I was a new school's student, I had no idea what I should write in a "Motto of Life" column. I didn't know, I was just afraid of my seniors and ....umm I thought I should wrote, even it was a random thing.

There I was, yeah, I wrote this thing.....



Simple .....but deep