Wednesday, April 18, 2012

#4

"The prettiest smiles hide the deepest secrets. The prettiest eyes have cried the most tears. And the kindest hearts have felt the most pain."

You'll Know The Thing

Kalau aku diizinkan bertanya, apa sungguh aku tak pantas untuk bisa bersamamu?


Hari ini adalah hari yang baik, harapku. Ya, hanya harapku.


Datang ke ruangan yang telah berisi banyak anak sepantaran, ruangan yang tak begitu penuh dan anak-anak yang ada di dalamnya hanya terlihat bak semut dalam sekaleng gula pasir, hanya ada satu-dua anak saja. Bukan, namun duabelas anak dalam ruang berkapasitas tujuhpuluh lima orang.
Mataku mengembara di sana, mengajak ayal yang sejak tadi penuh dengan harapan "hari yang baik". Dua orang di ujung pandanganku asik melahap kue goreng berbentuk lingkaran hasil karya enam orang anak, anggota mereka.

......dan satu anak di sudut lain sudah datang.


Apa? Apa salahnya? Dia hanya diam tanpa kata, and do nothing.


Seorang lain menyebut nama, ya, namaku. Aku yang sebelumnya telah melangkah maju di antara pasang demi pasang meja multifungsi--yang biasa digunakan belajar, bermain, alas tidur sekalipun oleh tuannya--sontak berbalik arah.
Dia? Sungguh, dia? lagi, untuk kesekian kalinya, beberapa kalimat tanya berlarian dalam kepalaku, membentur bagian-bagian rawan dan vital di sana.

"Ya?" tanyaku dengan suara dan tatapan ramah, sungguh aku tak bisa menghilangkan kebiasaanku ini--menjadi ramah, lembut dan penuh perhatian padanya.
Dia mengatakan hal yang memang itu tujuannya dia menyapaku di pagi hari, menjadi orang yang pertama kali menyapaku. Aku menatapnya dalam-dalam, pikiranku terbawa memori lalu yang tak mungkin bisa kembali bersamanya.
"Ya? Heeey! Kamu dengar?" terkejut, sungguh, dia menanyakan sesuatu padaku, dan aku hanya berkata "Ya." Tak ada kata lain yang sanggup keluar dari mulutku. Tepatnya, tak sempat untuk memikirkan hal lain usai memikirkan dirinya.

Aku rindu padanya....
Maksudku, dia yang dulu. Dia yang tak akan bisa kembali.

People change, I knew ....but I'm not the one who responsible to be used to it.


Setelah ia merasa urusannya denganku selesai, ia tak lagi bercakap. Sakit... ia hanya berbicara padaku saat ia butuh, dan tak mengerti saat aku membutuhkannya, seperti itukah seharusnya kita?


Lagi, lamunanku terpecah saat seseorang yang tadinya kulihat asik dengan donat hasil tangannya itu menyapaku, menawarkan sesuatu. "Tidak," kataku. Seluruh pikiran dan konsentrasiku masih tertuju pada makhluk Tuhan yang pertama menyapaku, tadi. Yah, walau aku tahu, bahkan dia tak mengetahui aku masih di balik punggungnya sekalipun.

Memang begini adanya, memang begini seharusnya, aku ada di belakangnya tanpa pedulinya, benarkah? Tak biasakah aku ada di sampingnya, ada di setiap kali ia membutuhkanku, atau sebaliknya? Tuhan.... sungguh, beri aku kesempatan.
Suara siapa itu? Siapa yang sibuk membacakan narasi di kepalaku? Siapa? Mengganggu saja.

Sudahlah. Aku memilih duduk di ujung ruang ini, memudahkanku 'mengawasinya' dan aku hanya tak ingin ada dalam keramaian, that drives me crazy, makes me can't think about something--someone.

Membuka sebuah buku, karya novelis andal kelas dunia, Nicholas Sparks. Kubuka lembar demi lembar kertas berbau khas itu. Dear John, judulnya.
Fokusku terpecah, sesekali aku melihat ke depan, melihatnya.
"Lelah, jujur, sangat melelahkan menjadi orang baik. Berpura acuh jika seseorang yang selama ini 'kuberi kebaikan' tak berbuat baik kepadaku, tak membalas budi-budiku." Mengejutkan, cemburuku menimbulkan hal buruk yang lain, kesombongan. Ha-ha-ha, tawa kecilku dalam hati.
Buku di tanganku lebih menarik perhatianku dibanding seseorang yang selama ini kuperhatikan, mungkin hanya untuk saat ini.

....kau tahu apa?


"Love meant that you care for another person's happiness more than your own, no matter how painful the choices you face might be."


Here I am, a broken-hearted jealousy girl reading a novel that really fit to her.
Ya, kau tahu sendiri, "cinta dan kasih sayang akan membuatmu mengutamakan kebahagiaan orang yang kau sayangi dibanding milikmu, tak berarti apapun, seperti perih--sakit yang akan kau hadapi setelah keputusan yang kaubuat untuk membuatnya bahagia."

Wednesday, April 11, 2012

Selamanya

Hanya terduduk, terdiam di sini. Tatapan kosong. Suara yang sayup-sayup di telinga, memancingku untuk mengisi pikiran yang sedari tadi kosong, tepatnya hanya ada sebagian bayangan di sudut sana, seseorang yang belum, atau malah tak mungkin bersamaku selamanya.

Aku tersadar, melihat seisi ruang dari seluruh penjuru; barat, timur, utara, selatan, tenggara, lalu ke arah berlawanan.

Seperti tersetrum aliran listrik 220 watt--daya yang biasa digunakan di negaraku--, tertegun melihat kawan-kawan seperjuanganku yang bermain dengan warna pelangi. Sungguh, aku tak mengerti. Intinya, mereka berhasil hidup, tanpaku di sana.

"Udahlah, udah biasa juga, kan?" itu suaraku, suara yang sebenarnya datang dari kepalaku namun terdengar seperti suara khas milik salah satu kawanku di sana, yang sebelumnya mengisi sudut pikirku yang kosong, sampai saat ini, dan mungkin selamanya.

"Apa salah? Aku juga ingin ke sana, merasa bagaimana jika aku di sana, apakah akan berbeda? Akankah aku merasa bahagia di sana? Apa mereka menjadi lebih bahagia atau berbalik menjadi luka di antara kami?"


Tak kenal lelah, sang narator dalam khayalku tetap terjaga, berbicara, tak berhenti. Sedikit muak, namun benar apa yang dikatakannya, apa aku salah? Apa aku tak boleh berada di sana? Apa bahkan aku tak sedikitpun pantas bersamanya?


Sakit, kau tahu?
Pilu yang menyesaki dada.

Parasnya yang tak terkalahkan indahnya itu, kini terlintas, dan bahkan aku dapat melihatnya, nyata. Dia di hadapku, sayang, tak sedikitpun ia memperhatikanku. Tapi, untuk apa? Untuk apa juga dia melihatku, memperhatikanku, atau malah menganggapku ada? Aku bukanlah seorang yang penting di hidupnya, malah, aku datang hanya mengganggu kehidupannya yang sempurna.

Tidak melihat, memalingkan pandangan, tidak memperhatikan.....that's not working on me, okay?


Tubuhku yang selalu lemas dan lemah di sampingnya, asal kau tahu, aku mendadak lunglai saat ia sebut satu nama, namaku. Tubuhku yang sebelumnya terasa kuat--bak pohon dengan puluhan cabang tertiup badai, hanya goyah namun tak rubuh--kini terasa layu.

Hanya dengan melihatnya, aku selalu ingin melakukan semua hal--demi dia. Tanpa ia suruh pun, tanpa ia minta, aku rela membantunya saat ia butuh; menyediakan apapun yang ia butuhkan, bahkan inginkan; menolongnya untuk bangkit saat ia pucat.

Bukannya tak ikhlas atas apa yang telah kulakukan, memperhatikannya, menolongnya, menjaganya, namun aku hanya ingin ia tahu--tahu akan betapa kerasnya yang telah kulalui hanya untuk dirinya, terpaan luka yang tak bosan-bosannya menghantam, dan ia? Ia acuh nan tak peduli.
Sekali lagi, ini menyakitkan, memilukan. Pedih.
Setiap kata yang terlontar dari bibir manisnya itu, tak jarang berhasil merampungkan karya terapiknya, luka yang mendalam. Saat ia lebih memilih orang lain dibanding aku, di sanalah aku tersadar memang ia yang pantas memilih, dan yang terpilih mungkin pantas dipilih.

Pilihan kedua? Sudah biasa. Jujur saja, aku sangat lelah.


I really like you but I can't be the Invisible Girl, I'm tired of being the shoulder, I want to be another body part.