Wednesday, September 12, 2012

Kamu, Mungkin?

Ada keyakinan saat aku menulis kalimat ini; keyakinan bahwa kau tak akan membacanya.

Terima kasih.
Banyak syukur yang harus kupanjatkan pada Tuhan. Syukur karena Ia telah mencipatakanmu, yang tak pernah menunjukkan kemarahan dan kekecewaanmu terhadapku. 95% aku yakin, ya, aku paham betul kau pasti kecewa. Marah, apalagi. Kemana 5%-nya? Tadinya sempat 100% dan hilang sebagiannya. Ya, Si Lima-Persen lebur bersama perasaan khawatirku saat aku nyaman bersamamu.

Maaf. Satu kata itu. Maaf, satu bahkan beribu kata maaf yang berhak dan wajib kuberikan untukmu. Bukan hanya 'terima kasih' hutangku, maaf pun mengekor.
Maaf untuk selalu merepotkanmu. Maaf karena selalu menyakitimu meski dalam diamku. Maaf untuk melepas; perlahan namun pasti telah kulakukan. Dan maaf, karena keterbatasanku, segala kesalahanku; maaf, aku tak pernah berada di sana lagi, di sisi yang mungkin pernah kau inginkan aku untuk mengisinya.
Maaf.

Siang ini, kau jahat. Kejam sekali.
Kau kejam karena kau membuatku menambah hutangku padamu, membuat sisi jiwa yang tadinya kupikir mati, kembali; kau hidupkan lagi. Jiwa ini mati suri. Kalbu yang mengering, kau siram dengan air yang kesegarannya tiada ada tandingan.
Jahat, kejam, dan tak berperikemanusiaan sama sekali, kau berhasil membuatku sadar, aku masih membutuhkanmu...

Maaf.



- Posted using BlogPress from my iPad

Wednesday, September 5, 2012

#7

"Did you know that everything she ever does is for you?"


- Posted using BlogPress from my iPad

The Things Inside

I don't know what I should write di kolom 'Title'. Karena tulisan kali ini sungguh sangat mendadak. Maksudku, ya, begitulah; keinginan menulis begitu besar, dan aku tak bisa melawannya meski tanpa koneksi internet. Untunglah gadget super ini benar-benar memanjakanku. Ngomong-ngomong, tak sepenuhnya salah aku hidup dalam buaian teknologi.

Aku tak kembali datang ke blog ini untuk sesuatu yang menggembirakan, sesuatu yang sangat ingin kukenang, namun angan yang menyesak.
Kau tahu? Aku sendiri. Tanpa teman, sama sekali. Sampai di rumah belum genap pukul setengah satu siang, mana ada orang? Hmmm....maksudku, di kediamanku. Sesekali memandangi telepon genggam yang biasanya 'heboh'. Kini? Mungkin ia sudah belajar bagaimana bersikap manis di hadapan manusia. Diam, seperti seorang anak yang diajak membesuk teman orangtuanya yang sedang sakit. Duduk manis, kalau para orangtua sering menyebutnya.

Coba bayangkan anak itu; hanya memperhatikan sekeliling ruang. Sudut satu, ke sudut yang lain. Mendengar orang lain berbicara. Berbicara hanya saat yang lain menegurnya. Mungkin itu seperti .....aku?

Sakit. Saat kau merasakan rindu dan sepi, kemudian kau disalahkan karenanya. Begini, disalahkan karena kau sendiri yang membuatnya, kau yang menyebabkannya. Siapa yang mau? Sakit, kau tahu. Sakit, karena sesungguhnya kau tak ingin kedua hal itu hadir bebarengan di setiap sendirimu. Sungguh, kau tak menginginkannya; inilah yang membuatmu semakin tersakiti. Menginginkannya pun tak mau, apalagi 'menimbulkannya', bukan?
Lelah aku dalam belenggu sepi. Sendiri.

Nobody wants to be alone that much.
Kamu juga, kan? Ada keyakinan saat aku mengatakannya.
Aku duduk di deret paling belakang, tadi. Ya, saat sekolah. Namun aku tak sendiri, ada empat orang anak di saf itu. Guru Bahasa Inggrisku datang, menghampiri sekaligus membuyarkan lamunanku.
"Kenapa, Rona?" sial, guru ini telah benar-benar mengenalku meski parasku ta terlihat. Menggeleng dan semakin sesak. Yah, nasib. Memaksa, memaksa, memaksa, kepo! Dan aku terpaksa berbohong. "Mengantuk," jawabku.

"Not in the mood?" sial--untuk kedua kalinya, guru ini seperti sudah mengenalku belasan tahun. "Mungkin, Miss..." timpalku ragu.

Hah. Untung beliau bertanya, karena apa yang tidak kuharapkan--bahkan tepikir pun tidak--beliau lakukan terhadapku, beliau lakukan.
Perhatiannya hanya tertuju padaku, itu kesan saat aku memandang dan berbicara padanya. Benar, ia mengajakku berbicara. Rupanya tak masalah aku tak memperhatikan rekan-rekanku mempresentasikan hasil diskusi mereka, karena pamongku juga melakukan hal yang sama. Terima kasih, Miss, setidaknya laraku terusir meski sejenak.

Apa maksudmu kembali datang dalam benakku?
Maaf, pertanyaan barusan untuk seseorang. Setelah aku selesai mengingat-ingat kejadian lalu, 'dia' datang lagi. Someone who has messed me up. Ha!

Sudahlah, lelah aku mencoba memikirkan bagaimana aku harus menuliskannya; aku, ia, dan perasaanku. Lelah mencoba. Bagaimana aku harus mengungkapkannya, itu maksudku.

Coba saja hati punya organizer yang nyata; memungkinkan untuk mengatur kapan harus dibuka, kapan harus ditutup, kapan harus mempertahankan, kapan harus melepaskan. Melepas apa yang sudah meninggalkan, pergi, semacam mengikhlaskan. Tapi, ah, entahlah. Melepaskan....

Aku hanya belum siap....


- Posted using BlogPress from my iPad

Sunday, September 2, 2012

Another December 22nd: #1

22 Desember 2009
Hari Selasa.

Hari bebas! Tidak ada ujian yang harus ditempuh, tidak ada remidi yang harus dijalani, pelajaran pun. Hari di mana semua orang sibuk; ada yang bersiap untuk menghadapi guru super 'mematikan', bermaksud meminta ujian susulan, ada pula yang berbicara sendiri di pojok kelas, itu kesan pertama yang aku tangkap, ternyata ....berbicara dengan suatu benda--yang aku lupa apa. Tetap saja, aneh -_-

Just to be honest, aku kurang memperhatikan apa yang terjadi pagi itu, membuatku harus lebih keras untuk mengingat. Aku duduk di bangku panjang, depan ruang kelas VIII-9. Sesak saat aku mencoba mengingatnya. Dua tahun aku berada di ruang itu, karena di jenjang sebelumnya kami juga menjalani hari-hari di ruang yang sama. Sekali lagi, aku rindu. Rindu dengan suasananya, rindu setiap detail ruangan--dinding hijau, papan tulis yang dulu pernah aku jadikan media penyalur kreativitasku, aku menggambar wajah ketua kelas di sana layaknya seekor penguin. Aku menyesal, sungguh. Teralis di ambang pintu kelas yang dulu menopang badanku dan teman jahil lainnya, meja komputer di 'belakang kelas' yang di salah gunakan, stop-contact bertebaran, dan ....ah sial, semuanya kurindukan. Suasana kelas yang tak pernah berubah, karena penghuninya pun tetap sama, that's what makes me dying, just want to be there again in time.

Hmm. Ya, aku duduk di bangku depan ruang yang sangat berkesan bagiku. Semua orang bersikap biasa saja, tidak ada yang mencurigakan seperti tahun lalu, tidak ada wajah-wajah drama yang diperlihatkan, dan tentunya drama 'Mendiamkan Rona' sudah tidak muncul.

Satu rahasia, aku sedikit lega, karena kaus yang sebelumnya aku persiapkan ternyata tidak terbawa. Aku membawa kaus lengan pendek. Sial.
Mengapa aku membawa kaus? Aku takut dikerjai, paranoid.
Takut dilempari telur, tepung, air; memang aku ini apa? Ayam yang siap diubah menjadi ayam goreng krispi?

Seorang teman yang parasnya seperti baru saja bangkit dari tidurnya melangkah keluar kelas, mengajakku pergi ke kantin. Aku juga rindu kantin, pempeknya, sate jamurnya. Menurutku...semuanya! Ya, kami pergi ke kantin, dan di tengah perjalanan, bum! Seketika dingin menjalar dari ujung kepalaku ke setengah badan ini. Kejam. Hal yang aku takuti menghampiriku tiba-tiba dari belakang. Kalau aku boleh menebak sebelumnya, aku akan menyebutkan satu dari tiga nama yang sangat familiar; Lawren, Gista, atau Bintang. Mereka teman dekatku. Atau Kiki, "The King of Tricks". Bukan, salah semua. Moe, bukan teman sekelasku, mengguyurku dari belakang.

"Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday ....happy birthday to you!"

Dan hampir semua anggota kelasku datang, entah membawa botol minum, bahkan gayung penuh berisi air. Aku masih sempat berpikir, bagaimana anak-anak lain yang sedang membutuhkan kamar mandi lengkap dengan gayungnya nanti? Bagaimana nasibnya?
Superrrrrr.

Ya sudah. Lengkap. Selesai. Aku basah kuyup, dan sepatu ayahku yang terikat kencang di kakiku ikut basah. Aku berpikiran untuk tidak mengganti pakaianku, tapi buat apa kausku yang telah bersikap manis di tasku? Lebih baik kupakai. Untung saja aku membawa jaket, lenganku masih dapat ditutupi.

MAKAN MAKAN!!!!

Bukannya memberi kado, malah minta ditraktir. Teman macam apa?
Teman macam....aku tahu macam apa. Macam yang tak dapat diungkapkan dengan kata. Macam yang tak bisa diutarakan pada orang lain bagaimana mereka. Macam yang tak mungkin didapatkan jika aku tak berada di sana. Macam yang aku rindukan, amat mendalam, sejak pertama kali kami berpisah. Masya Allah, mereka.... Sekali lagi  membuatku mengucap syukur, Alhamdulillah..


-----------------------------


Aku dijemput oleh ibuku. Seorang wanita hebat yang aku kenal sejak aku dilahirkan olehnya. Sosok kuat yang dilengkapi ayah. Spesial, menurutku. Aku dijemput oleh dua makhluk Allah terpenting dalam hidupku.
Menyenangkan, karena aku tak langsung diantar pulang. Beliau-beliau mengajakku ke suatu tempat. Intinya, dimanapun, asal mereka ada, itulah tempat terindah. Yaa Rabb, izinkan kami masuk ke jannah-Mu lengkap seperti ini. Amin..

Di sepanjang perjalanan, aku mencoba menyibukkan diri, ayah-ibu sedang sibuk berbincang. Satu bendel dokumen dengan kover apik, dilengkapi lambang Universitas Gadjah Mada dan nama lengkap ibuku.
"Oh, ibu tesis ibu sudah selesai," batinku. Masih berbincang, ibuku tak menyadari aku membuka dokumen pentingnya ini. Lembar demi lembar sampai ke halaman yang benar-benar membuatku tersentuh. Aku lupa bagaimana persisnya kalimat yang telah diurai oleh beliau, kau mau tahu isinya? "Tulisan ini saya persembahkan untuk anakku, Rona Hafida Heriyanto Putri. Selamat ulang tahun yang ke-13."
Sesuatu meluncur di pipiku, aku yakin itu bukan peluh.

Remembering that thing is just making me think; she's done everything, she's given me everything, and....what have I done for her, then? What am I gonna do?

Yaa Allah, berikan aku kelancaran serta kemudahan menuju citaku. Berkahilah, Yaa Rabb. Bimbinglah hamba. Amin..


-----------------------------


Begitulah... Sesuatu akan terasa begitu berharga, saat kau mencoba mengingatnya, dengan manis :)

No Title To Display, No Word To Explain

Mataku terbuka, tepat pukul 2 lewat empatbelas menit dinihari. Seketika ayalku terbang, bebas, bak burung di penangkaran yang berhasil kabur. Bebas baginya, dan menderita kutanggung. Kau tahu? Sepi menyusup masuk, entah lewat ventilasi udara, ataukah pintu kamar yang malam ini lupa kututup. Masa bodoh, aku tak ingin memikirkan bagaimana ia bisa menyelimutiku pagi ini, yang penting, aku kesepian.

Tak pernah aku merasa sesepi ini; selalu ada yang membuatku nyaman, lawan bicara, salah satunya. Ya, biasanya selalu ada teman yang siap mendengarkanku, apapun yang kukatakan, bahkan cercaan yang kulemparkan. Oh iya, musik juga biasanya turut andil membangun kenyamanan terhadapku.
Lalu, mengapa pagi ini tidak? Mengapa semua sungguh berbeda?
"Tanpamu, mungkin..." tembakku.

Duapuluh empat menit selepas pukul 7. Tak tahu mana yang lebih tepat, baru sempat atau baru menyempatkan untuk menulis. Sempat, karena ini, dan ini--kau pasti tahu bagian mana saja yang aku tunjuk--, sangat sesak. Penat, atau semacamnya. Menyempatkan, karena aku memang enggan menulis sejak perasaan itu hadir, aku lebih memilih menikmatinya daripada menuangkannya. Dan kau tahu? Perasaan itu masih jelas, sangat ketara hingga saat ini.

Bersyukur, pagi ini muncul keinginan untuk membuka blog salah satu temanku. Demi Tuhan, aku rindu padanya. Amat. Sangat.

Diceritakan di sana, bagaimana kami, teman satu kelas menghabiskan waktu bersama. Membunuh tekanan yang sering diberikan pada kami, dulu. Mengabaikan 'gunjingan' dari teman--beda kelas, beda program--lain yang sungguh, sebenarnya mereka nggak mengerti.

Aku benci perasaan ini. Merindukan seseorang, sebelumnya, kemudian muncul lagi siluet kenangan lampau yang jelas hanya bisa dikenang dan dibagi, tanpa bisa diulang. Aku....hancur.
Ladies and Gentelmen, please welcome, Rona, the girl whose heart is breaking in the Sunday morning!

Apa-apaan itu? Efek rindu, mungkin?

Aku ingin kembali ke masa itu, masa dimana aku tak mengenalnya. Hanya tahu, dan mengabaikannya. Hanya melihat, dan tak 'mendengarkan'. Hanya menulis, tanpa membaca.
Sudahlah, mungkin ini saatnya berpindah. Maksudku, bergerak--atau semacamnya. Lebih baik aku tak diam di tempat dan sibuk memikirkan kesakitan hatiku. Bukankah itu cara bertahan hidup di zaman ini? Tidak lagi harus memikirkan bagaimana memanfaatkan tanaman untuk bahan pangan karena ketersediaan makanan yang menipis akibat dijajah. Sekarang penjajahannya berbeda; penjajahan moral, mental, dan ....hati?

Aku ingin menceritakan yang lain saja. Hmmm. Mengenai apa yang ditulis temanku di blog pribadinya, barangkali? Baiklah.


----------------------


22 Desember 2008
Ulang tahunku, di sekolah baruku.

Ya, pagi itu aku datang dengan kaus merah berlengan panjang. Datang sebelum pukul 7 pagi, Hari....Senin, seingatku. Hampir semua teman yang rencananya akan melakukan study tour bersamaku di hari itu, membiarkanku mati kesepian. Atau mereka sengaja membunuhku, sengaja, dengan membungkamku? Ah, lupakan. Aku berhasil, berhasil diam pada mereka yang mendiamku. Haha! 1-1.
Briefing, limabelas menit mendengarkan ceramah guru pendamping. Dua teman dekatku datang, dan berbisik, "Duduk bareng kami, ya?". Aku terkekeh dalam hati, "Kalian gagal dengan rencana 'Mendiamkan Rona' kalian, kan?" 2-1!

Duduk di seat spesial, di hari spesial, bersama teman spesial, ke suatu tempat spesial. Kurang spesial apa, hari itu?

Sesampainya di laut, kukabarkan semuanya; kepada karang, kepada ombak, kepada matahari. Tetapi semua diam, tetapi semua bisu; tinggal aku sendiri, terpaku menatap langit. Ups, aku malah bernyanyi.
Sesampainya di laut (serius!), kami berdiri, berjajar di sana, having chat with the others.
Oh iya, Pantai Baron, Gunung Kidul, yang saat itu menjadi pijakan kami. Tidak lama berada di sana, hanya mendengarkan penjelasan tentang sungai bawah tanah yang bermuara di pantai itu, dan observasi untuk mata pelajaran Sosiologi. Pantai Baron ini memang disiapkan dewan guru kami untuk pembelajaran IPS Terpadu. Setelah matahari tergelincir, kami dipersilahkan melakukan ibadah dan makan siang. Masih di spot yang sama, sampai akhirnya kami mengucapkan selamat tinggal. Terima kasih, Pantai Baron.

Masih berlanjut....
Di sini serunya, guru pengampu mata pelajaran Biologi kami menjanjikan kesenangan, maksudku, kami bisa bermain di pantai selanjutnya. Pantai Kukup!
Giliran IPA Terpadu yang menemani siang kami. Mempelajari biota laut, menghitung massa jenis, begitulah. Setelah semua terselesaikan, kami merapat ke pinggir laut.

Dag-dig-dug-duer! Aku sama sekali tidak curiga pada teman-temanku. Mereka kalem, seperti biasa.
Aku hanya berdiri, menikmati sepoi angin sore, saat yang lain sibuk dengan air yang beriak itu. Aku merasa memiliki kehidupan sendiri, memperhatikan nyiur melambai.
Hap! Lengan kanan dan kiriku ditarik--sangat kasar, untuk wanita lembut sepertiku--oleh kedua temanku. God! Mereka laki-laki, tolong, jangan apa-apakan aku! Cukup. Hentikan -_- Kakiku juga dipegangi oleh teman-teman yang lain, aku digotong. Sontak, aku memberontak, menjejak, mencoba memukul. Ah, sial, percuma. Firasat buruk.

Semua orang berkumpul, lantas berteriak: "Satuuuu..... Duaaaa..... Tiiigaaaa!!!"
Bersyukur kepalaku tidak membentur karang, mereka baru saja melemparku atas komando yang lain. Terharu, mereka menyiapkan kejutan, terlebih yang membuatku bersyukur dan tersentuh, mereka ingat tanggal ulang tahunku. Subhanallah :)

Tak lama kemudian, aku ditarik dan dikubur hidup-hidup di pasir putih Pantai Kukup, tanpa ampun. Untungnya, kepalaku dibiarkan berada di atas permukaan. Tunggu, tangan kananku juga, ternyata. Setelah dihujani pasir, aku dihujani uluran tangan. Masya Allah, mereka menjabat tangaku yang 'tertinggal', mengucap "Selamat Ulang Tahun" dibarengi doa yang tak pernah lelah aku panjatkan pada Tuhan setiap hari. "Terima Kasih" dan "Amin", dua hal-tiga kata yang bisa aku ucapkan. Hanya itu.

Kembali ke rumah, kepalaku serasa ditimpa beban 5 kilogram. Mungkin akibat mengenakan kerudung basah. Hmm.

Perasaan tidak nyaman di kepalaku itu, sama sekali tak sebanding dengan apa yang aku dapat di hari itu. Sungguh, bahkan aku masih bisa memikirkan hal lain, hal yang menyentuh, sangat dalam; mereka yang belum lama aku kenal; satu, dua, tiga, empat, lima, enam bulan sejak pertama kali kami bertemu. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan, telah mempertemukanku dengan mereka.
Alhamdulillah :)

----------------------

Mengingat-ingat hal yang menyenangkan tak seburuk yang aku bayangkan. Sebelumnya, aku mengira dengan mengingat, apalagi menuliskannya, aku akan tersakiti, lebih dari rasa sakit hanya dengan merindukan kejadian itu, lengkap dengan aktor-aktris yang berperan.

Inspirasi.
Aku jadi tahu, apa yang selanjutnya akan aku tulis, untuk seterusnya. Bukan hanya keluhan yang seharusnya aku bagi, namun juga yang membahagiakan :)

Saturday, September 1, 2012

See?


Jika dia selalu mengingatmu meskipun kau tak pernah mengingatnya;
masih inginkah kamu meninggalkannya demi orang lain?

Jika dia tetap tersenyum meskipun terluka saat menatapmu,
masihkah kau ingin menyakitinya untuk kesekian kali?

Jika dia tetap membawa namamu dalam doa,
meskipun tahu kau tak mendoakannya;
masihkah kau ingin mengabaikan perasaannya?

Dan, jika dia tak pernah lelah menunggumu,
masihkah kau menganggap perasaannya sebagai mainan?