Monday, October 1, 2012

I Like but I Don't Fancy

It's been a long time since I don't write. Meski sebenarnya pagi buta ini aku menulis, menyelesaikan 'karya ilmiah'--atau apalah.

How I miss writing; the only activity that can change my mood as easy as snapping my fingers. Intinya, aku benar rindu menulis.
Here I am. Kembali menulis. Aku kembali dengan pasti, meski membawa luka hati.

Mungkin kau bisa abaikan saja kalimat terakhir.

--------------------------------

Panas hawa siang ini, meski awan pagi yang menyelimuti memberi harapan hujan akan turun. Mendung, namun tak semendung hatiku. Ragaku memang rapuh, ringkih, laksana kulit telur ayam yang kubeli kemarin sore. Sesakit apapun kau bernapas, kau tak akan berhenti bernapas hingga waktunya tiba, bukan? Seperti halnya aku, serapuh, seringkih, dan sesakit apapun, aku memang tak boleh berhenti. Mungkin saja itu yang telah tertulis; yang telah tergaris.

Panas. Jok kendaraan yang aku tumpangi ini panas, karena aku memarkirkannya di tempat yang memang tak beratap, kendaraanku ini tak bisa bernaung. Ya, panas.
Panas, kata yang sibuk menubruk pikir kalutku siang ini.

Kau lihat--jalanan--aspal ini? Kering, dan panas. Butuh diguyur; maksudku, diapakan saja terserah, yang penting permukaannya terbasuh dan menjadi dingin.
Apa kau ingin mengandaikan kalbumu sebagai aspal yang dibiarkan terjemur di bawah matahari yang terik ini? Sama sepertiku, mungkin.
Sungguh yang pertama aku pikirkan saat melihat jalanan, lengkap dengan aspal yang panas serta debu yang menyesak ini, adalah mereka, manusia dengan jiwa-jiwa yang butuh ketenangan. Yang merasa tercampakkan di tempat yang sungguh tak mereka inginkan. Doa yang pasti dan tak pernah terlupa mereka untai mungkin hanya satu, hingga Tuhannya hafal; "God, please bring me to the place where I belong to."

Aku yakin, mereka hanya belum mengerti, belum sanggup memahami.
Mereka labil. Mereka senang duduk di sana sendiri, menikmati segalanya sendiri, karena yakin mereka mampu. Aku percaya. Namun segalanya berubah; benteng rapuh yang mereka bangun, runtuh. Seseorang yang lain di ujung sana terlihat bahagia, terlihat sempurna berkat hal yang sanggup membuatnya merasa sempurna, berjalan bergandeng tangan--dengan pasangannya. Kau tahu? Mereka iri.

Mereka menginginkannya juga; menginginkan bertukar posisi dengan sesorang--dengan 'penampilan' sempurna--yang baru saja mereka lihat.
Kenyataannya? Mereka sempat merasa--sok--tegar nan tak teruntuhkan by standing themselves ....all alone. Tapi, apa? Sekarang hancur, melebur.

I know that even though they like being alone, they don’t fancy being lonely.