Monday, November 19, 2012

Ini Bukan Hujan Pertama


Ini bukan hujan pertama

iya, bukan milikku

Ini bukan hujan pertama

aku tak ubahnya paku

tertancap dalam; pikirku

karam, meraung diam

Ini bukan hujan pertama

bukan pula simfoni yang pernah

menemani

Sendiri

masih mencari

Ini sama sekali bukan hujan pertama

aku kauacuhkan; aku kausalahkan

Saturday, November 17, 2012

Bibirmu Berkarat di Bibirku

: Hasan Aspahani


aku melihat bibirmu itu sekarang, menjadi kering,

menjadi kasar berbatu seperti karang, seperti

berontak dari cangkang, dari rumahmu yang

berlipat sajadah, berlantai pasir, kau bukan

lagi kulihat sebagai musafir, kau buronan,

tahanan penjara Tuhan, kau tak lagi

kulihat sabar menunggu dzikir-dzikir,

kau lekas sekali bersujud, mencengkeram tanah,

mencari suara siapa tertawa di dermaga,

bendera negeri mana dilambai di atas palka,

siapa terdiam berdiri di tepi samudera

menyaksikan bangkai manusia dibuang,

diceburkan tanpa airmata, kau menghentak

kaki berlari ke pasang gelombang,

tak lagi bertanya kenapa, aku melihatmu

dari jauh, dari pesisir, kau mengambang

di tengah, memungut buih, memagut air laut,

tak lagi bertanya kenapa, aku mendengar

dari jauh, kau merintih

bibirmu berkarat di bibirku

bibirmu berkarat di bibirku!

Senja dan Dermaga


Saat luka tak lagi mengenal waktu dan penantian terasa abadi, sementara merah bukan lagi darah tapi sepi yang enggan pergi, mungkin di sebuah dermaga kau akan menyaksikan satu-dua kapal antah berantah mengangkut pulang kenangan entah milik siapa, milik aku yang telah lama tenggelam di dasar diammu, atau milikmu yang telah terbang bersama serak suaraku.


Mengucapkan perpisahan yang kita tau sama-sama berat
mengucapkannya lirih dalam satu pelukan
yang tak bisa lebih erat


Begini senjaku
mungkin di dermaga itu kau tak akan bertemu aku, hanya menghitung detik demi detik dengan lancang berkejaran dan mengharapkannya mati atau beku; tapi ada beberapa pertemuan yang tak boleh terjadi karena luka setelahnya akan membuat sepi di bibir kita saling mengucap benci.


Biarlah hening yang kau dan aku simpan berlayar dalam kapal yang berbeda
biarlah cahaya yang jingga menyala di matamu pergi,
itu bukan senja kita

Angsa-Angsa Ketapang

: Bernard Batubara


Angsa-angsa Ketapang


aku tak bisa membayangkan diriku, adik perempuanku, dan adik lelakiku sebagai tiga ekor angsa yang hidup di rumah kami, karena kami tak membagi dada kami untuk dijadikan sebaskom kecil nasi sisa dan kami lahap bersama, kami tak berjalan subuh hari menembus pagar rumah yang rusak, mencari sekawanan embun berkilau yang beterbangan setiap sehelai daun ketapang jatuh dari rantingnya, kami tak pernah melompat menceburkan diri ke kolam ikan dan berseru kegirangan, mengibas-ngibaskan sayap di dalam air berwarna kuning, berharap sekawanan ikan kecil berenang mendekat, kami bukan tiga ekor angsa yang tahu kapan harus pulang kembali ke kandang, kandang kecil tempat seharusnya kami tidur bersama, dan aku tak bisa membayangkan diriku sebagai angsa tertua yang melebarkan sayapnya, memeluk dua ekor angsa lain, meski seluruh daun di pohon ketapang yang lahir di rumah kami berguguran dan tak akan pernah tumbuh lagi.


tapi angsa paling bungsu sudah terlanjur tidur pulas sekali, ia tersenyum, sayapku tak ada di sana.

Thursday, November 1, 2012

#8

"Saling mendoakan adalah bukti bahwa aku dan kamu belum mampu saling melepaskan."


- Posted using BlogPress from my iPad

Should I just... smile?

Banyak kata yang membentur saraf kreativitasku malam ini. Tunggu, bukan hanya malam ini, namun setiap malam. Seperti ada stimulus langsung ke sana untuk merangkai jutaan kata tersebut; meski tak indah, meski tak apik.

Selalu gagal, selalu saja.
Satu dari ribuan bahkan jutaan kata yang berputar-putar selalu berhasil tertuang, selalu berhasil terangkai, dan yang kemudian selalu berhasil dihapus. Ya, selalu.
Entah memang karena pilihan kata yang kurang cocok, atau pemakaian majas yang tidak pas; entah. Yang kutahu, tiap kali aku menangkap, menjerat kata-kata yang berkeliaran, dan mencoba menatanya di halaman ini, selalu saja ada sesuatu yang mengekor, membuat ideku, jemariku, terganjal.

Boleh aku meminta waktumu sebentar?
Mungkin ini yang lebih aku butuhkan dibanding bersanding dengan halaman kosong dan mencoba memindahkan, membuang--atau kata apapun yang pas kau gunakan--kekalutan ini. Kekalutan yang berhasil kauciptakan.
Perhaps, that's your most beautiful masterpiece.

Boleh aku lihat jernih bola matamu sejenak?
Aku lelah menerka; demikian pula membayangkan apa yang ada di sana. Mencari apa yang aku harap dapat aku temukan dalam kejernihan itu. Kejernihan yang tampak akankah pula menorehkan siluet rindu? Rindu, satuan rasa yang tak beralaskan. Rindu yang berhasil kau 'ganggu', kini terbangun dan meraung mencarimu.
Atau mungkin... jernih tanpa adanya seberkas 'aku'?

Boleh aku memintamu mendengarkan?
Jika kau keberatan, cukup untuk hanya mendengarkan tanpa berbalas sepatah kata; kau tak perlu berucap. No feedback will be okay.

Haha. Konyol. Tidak, aku benar membutuhkan jawabanmu. Feedback, sangat aku harap. Mungkin kau akan menemukanku berkata begitu, dengan senyum merekah di wajahku; namun kau tak tahu pertempuran yang ada di hatiku, bukan?
Smiling but dying, or dying but smiling. What the hell is that? Nevermind.

Smile is like a band-aids; it covers up the wound but it still hurt.
And smile though your heart is aching. Smile even though it's breaking; when there are clouds in the sky you'll get by.
If you smile through your pain and sorrow; smile and maybe tomorrow you'll see the sun come shining through for you.

Ya, cukup. Senyum.
...mungkin hanya itu yang sanggup dilakukan.


- Posted using BlogPress from my iPad