Tuesday, June 25, 2013

Saya... Terima Kasih.

Saya digiring kembali ....oleh? Saya sendiri. Halo.

Saya senang waktu mengizinkan kembali menulis. Ng... belum lama saya menulis karya-kaya mirip sampah di buku catatan kecil saya.

Ayah.
Saya belum lama akrab dengan beliau, pun, menyadarinya beberapa waktu lalu.
Pernah coba tonton sinetron, drama, atau apapun yang menyuguhkan alur sang ayah dan si bocah sama sekali tak bisa akrab. Mungkin, hanya mungkin, dulu kami seperti itu ....meski tak seekstrem ayah mengusir anaknya.
Dulu, tiap waktu kami bertemu, pasti adaaa saja hal yang saya lakukan dan ayah tidak setujui. Atau malah ayah yang memancing amarah saya. Dulu. Waktu saya belum cukup dewasa dan sebelum ayah... sebelum ayah apa? Saya nggak tahu persis sebenarnya ayah juga berubah menjadi lebih sabar, lembut, dan terlihat perhatian; atau saya saja yang baru menyadarinya.

Tunggu, tunggu... itu di tv ada Miss A, girl-band favorit kawan. Suzy cantik banget yah, persis rona.
Halah. Sudah. Skip.

Ah iya, ayah sering berniat bantu saya belajar. Sering. Saya bersyukur bisa lanjut makan bangku kuliah di jurusan ini. Orang tua saya menginginkannya. Keluarga saya mengharapkannya. Yang terpenting, saya pun ingin dan berharap sebelumnya, dan saya memperjuangkannya, dan atas izin-Nya, saya berhasil. Alhamdulillah...
Lanjut, ya? Ayah selalu berusaha bantu saya. Apapun itu. Kalau benar beliau nggak bisa, beliau selalu ada cara untuk mempermudah langkah saya. Ah, terima kasih, ayah...

Saya menyesal baru menyadarinya sekarang, saat usia saya mulai mengejar usia beliau. Beliau pun, usianya sudah tak muda lagi. Badannya sudah tak setegar saat usianya berkepala dua atau tiga. Sungguh, saya menyesal.
Maaf, ayah.
Maaf, karena saya sama sekali nggak peka.
Maaf juga karena saya terlambat ucap terima kasih.
Sekali lagi, terima kasih.

Sunday, May 19, 2013

Have you ever....?


Have you ever been walking down the street and realized that you're going in the complete opposite direction of where you are supposed to be going?
But instead of just turning a 180 and walking back in the direction from which you came, you have to first do something like check your watch or phone or make a grand arm gesture and mutter to yourself to ensure that no one in the surrounding area thinks you're crazy by randomly switching directions on the sidewalk.

Tak Mungkin dengan Sederhana


tak mungkin ku mencintaimu dengan sederhana. terlalu banyak
misteri tersimpan dalam setetes embun pagi

kau lihat?

tak mungkin ku mencintaimu dengan sederhana. angin tak
pernah bersepakat untuk membawa suaramu ke sini

kau tahu?

tak mungkin ku mencintaimu dengan sederhana. terlalu dalam
rahasia tersimpan di dasar ingatan.
ingatanku
ingatanmu

tak mungkin ku mencintaimu dengan sederhana. rindu itu
rumit. serumit rekata menggambar wajah masa lalu

tentangmu. tentang aku

tak mungkin ku mencintaimu dengan sederhana. tidak
sesederhana caramu mencintainya

cintamu. luka itu

Thursday, March 7, 2013

#11

Girls are taught a lot of stuff growing up. If a guy punches you he likes you. Never try to trim your own bangs and someday you will meet a wonderful guy and get your very own happy ending. Every movie we see, every story we’re told implores us to wait for it, the third act twist, the unexpected declaration of love, the exception to the rule. But sometimes we’re so focused on finding our happy ending we don’t learn how to read the signs. How to tell from the ones who want us and the ones who don’t, the ones who will stay and the ones who will leave. And maybe a happy ending doesn't include a guy, maybe… it’s you, on your own, picking up the pieces and starting over, freeing yourself up for something better in the future. Maybe the happy ending is… just… moving on. Or maybe the happy ending is this, knowing after all the unreturned phone calls, broken-hearts, through the blunders and misread signals, through all the pain and embarrassment you never gave up hope.

Tuesday, February 19, 2013

Monday, February 18, 2013

Arched Across The Sky


Rainbows created my imagination
as it arched across the sky
On one end there sat you
At the other end, there sat I

Imagining I could slide across
over the rainbow to the end
There would be my pot of gold
the sweet love of my dear friend

The rainbow is a connection
Like a bridge from me to you
It appears joined by sunlight
then the grey skies turn to blue

Arriving after the rainstorms
It became so evident to me
Thoughts of love follow rainbows,
they arched right across the sea

A colourful arching rainbow,
it has no gate, it has no door,
it reaches from friend to friend;
It arches from shore to shore

I smiled up today at the sky
How far would my loving smile go
It slid right over to the other side,
the other end of the colored rainbow

Never Read This Trash: #2

Sempat berpikir bakal jadi diam dan.... yah, kalem karena ketidaknyamanan hati--yang terprediksi, pagi ini. Prediksi yang bukan tanpa alasan. Relung sempat tersayat, bahkan sebelum sempat menyandarkan diri ke bangku kelas.
"Tak apa," dua kata penenang dari diri sendiri yang dibarengi keluh yang iri diperhatikan.

Setidaknya sampai terpikir berkomunikasi dengan hati, melalui musik, jelas.
Dan Ibu, datang, tanpa dinyana. Datang bagai cenayang yang tahu segalanya; meski hanya menghubungi via text. Beliau memberitakan hal yang sama sekali nggak penting, menurutku. Begitulah, memberitahukan bahwa dirinya baru saja melintasi sahabatku setiap pagi; jalanan menuju sekolah. Nothing to do with me, Mum...
Intinya saja, beliau minta ditemui, tentu jika aku punya waktu sengang, tak mungkin ia menyuruhku skip pelajaran hari ini. Maksi, katanya. Maksi, makan siang, bahasa apa, itu?
Mungkin beliau memang kelewat gaul...

-----------

Sembari menunggu jam makan siang yang sudah terjadwal--meski mendadak--dengan Ibu, guru pengampu mata pelajaran entah apa, memakan abaianku. Tubuhku saja tak tertuju menghadapnya, apalagi pikirku, kan? Mengobrol, memikirkan masa depan, atau apapun yang akan kau ucapkan jika mendengar; itu jauh lebih menyenangkan.

Di sinilah kalutku lebur, leleh yang kemudian terhambur.

-----------

Jam maksi. Makan siang, kalau ibuku bilang. Kami diburu waktu; saya, sebenarnya.
Terlalu panjang untuk dijelaskan, di sini. Intinya, lagi lagi, langsung ke inti, kami makan dan berbincang.
Prediksi pagi yang dengan penuh percaya diri terpahat di benak, tergerogoti, hilang setelah perut kenyang. Ya, ampun....

-----------

Nah.
Kembali ke gudang penyimpanan ilmu.

Pamongku sudah duduk manis dan terlihat santai, sampai-sampai penyusup yang masuk di saat yang tidak pas saja tidak beliau ketahui. Aku, maksudnya. Masuk seenaknya, seperti seorang anak tak tahu krama di film-film remaja. Terlambat, sikat!

Satu bendel soal siap di meja. Temanku yang menatanya, apalagi yang bisa dilakukan selain mengerjakan? Melahap berkas soal, yang tak aku harapkan dari awal. Better do it than whining, huh?

Selesai, dan kembali berbalik arah. Membalikkan badan, menyapa kawan. Bu, saya hanya mencoba ramah ke teman sekelas saya, jadi jangan bilang saya bikin gaduh di kelas Ibu.
Banyak sekali yang kami bicarakan. Ah, masalah pagi terlupakan. Bagai air yang tanpa sadar menguap, yang lebur bersama obrolan kami.

-----------


Baru saja tersadar, buat apa saya tulis ini?
Seperti ditampar. Terkaget dan.... sudah, ya. Saya merasa aneh.

Saturday, February 9, 2013

Never Read This Trash

Di sini lebih damai. Di barisan kedua dari belakang. Di kelas.
Saya yakin bukan karena orang sekitar yang memengaruhi, memang saya saja yang lebih nyaman duduk dan menulis dibanding memulai membicarakan hal yang mengusik saya sejak awal minggu ini, pada teman, meski yang terdekat.

Kelewat egois, menurut saya. Saya ingin yang lain mengerti, tanpa saya harus berbicara; tanpa saya sendiri yang merobek selaputnya. Egois.

Baru saja saya bangun dari ranjang sekolah yang sengaja disediakan untuk siswa sakit.

Tunggu... saya bingung; mungkin meramu kata dengan kata ganti 'saya', boleh saya ganti jadi 'aku'? Setidaknya jemariku lebih gemulai mengetik kata-per-kata dengan kalimat yang tak baku.
Sayang, mungkin seperti inilah gambaran remaja Indonesia. Eh? Sudahlah, masalahku sudah cukup berat; tak perlu pula merasa sok kuat dan ngerti masalah negara.

Ke mana arah pembicaraan ini kubawa? Sekali lagi, aku jawab, entah.

Terkutip dari kawan sebaya; kalau ada masalah, bilang aja, jangan disimpan sendiri. Nanti sakit, lho.
Hai, teman. Bagaimana aku bisa berbagi denganmu jika bahkan saat aku ada, kamu seperti seseorang yang asing buatku? Dan saat kamu masih butuh kehadiran yang lain saat kamu sudah bersamaku? Dan aku, merasa tak diprioritaskan; atau memang tidak?

Sudahlah, rasanya seperti aku memantikkan lagi api perang yang sebelumnya telah berhasil kita padamkan; perang dingin antara kita.
Yang jelas, bukan kau yang salah, mungkin aku.
Aku selalu merasa kurang, ya, sebagai manusia.  Manusiawi.

Friday, February 1, 2013

Wake up!

Halaman kosong.
Lalu? Entahlah.
Tadinya aku berpikir untuk menghilangkan kekosongannya; bukan dengan cerita basi; keluhan tentang yang lain, berperan menjadi tokoh baik, yang bahkan aku tak yakin.

Selalu merasa jadi yang paling berusaha, begitukah? Aku, jujur, iya.
Kelu, saat sebenarnya tidak begitu, tidak seperti yang nampak di mata yang lain.

Kenapa tidak kau coba bagi dua saja, aku?
Separuh kau harap aku baik dan bahagia, sejahtera, sentosa, atau apapun pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia ucap sinonimnya. Dan separuh lagi.... kau ingin aku melihat deritamu. Merasakannya, bukan? Haha. Iya, kau merasa hanya kau-lah yang 'sakit', tersakiti; yang sedih tersandung pedih.

You're not the only one who hurt, Baby.

Menurutmu, egoiskah jika mengajakmu menilik perasaanku? Menyeretmu kemari saat ada sebagian hatiku yang membutuhkanmu; yang meraung keras, namamu tersebut? Menarikmu, mencoba meski berbisik, agar kamu paham dan mengerti bagaimana 'aku'?
Ah, maafkan ciptaan Tuhan yang egois ini. Tapi bukannya segalanya tak akan berujung 'harmonis' tanpa mengerti satu-sama-lain?

Seberapa besarnya kita mencoba, celah masih memberi jalan kemungkinan kau menyakiti yang lain.
Begitu juga aku, kau.
Aku merasa, dan kau tidak. Atau mungkin kau pikir aku kebalikannya; kau merasa dan aku tidak. Bukannya setiap jiwa, setiap raga, punya persepsinya masing-masing?

Lagu lama.
Iya, lagu lama untuk menuding kau salah dan aku bersih.

Aku sadar aku mencoreng hatimu, mengoyak berkali-kali perasaanmu; bagaimana kamu?
Sadarkah?
Berkali aku baca, berkali aku pahami, berkali pula aku tercabik.

Lelah membawa ke-antah-berantah-an ini, lelah menyaringkan keluh-kesah.
Di awal mencoba tegar, eh, terbuntuti kesabaran yang memudar.

Maaf.