Tuesday, February 19, 2013

Monday, February 18, 2013

Arched Across The Sky


Rainbows created my imagination
as it arched across the sky
On one end there sat you
At the other end, there sat I

Imagining I could slide across
over the rainbow to the end
There would be my pot of gold
the sweet love of my dear friend

The rainbow is a connection
Like a bridge from me to you
It appears joined by sunlight
then the grey skies turn to blue

Arriving after the rainstorms
It became so evident to me
Thoughts of love follow rainbows,
they arched right across the sea

A colourful arching rainbow,
it has no gate, it has no door,
it reaches from friend to friend;
It arches from shore to shore

I smiled up today at the sky
How far would my loving smile go
It slid right over to the other side,
the other end of the colored rainbow

Never Read This Trash: #2

Sempat berpikir bakal jadi diam dan.... yah, kalem karena ketidaknyamanan hati--yang terprediksi, pagi ini. Prediksi yang bukan tanpa alasan. Relung sempat tersayat, bahkan sebelum sempat menyandarkan diri ke bangku kelas.
"Tak apa," dua kata penenang dari diri sendiri yang dibarengi keluh yang iri diperhatikan.

Setidaknya sampai terpikir berkomunikasi dengan hati, melalui musik, jelas.
Dan Ibu, datang, tanpa dinyana. Datang bagai cenayang yang tahu segalanya; meski hanya menghubungi via text. Beliau memberitakan hal yang sama sekali nggak penting, menurutku. Begitulah, memberitahukan bahwa dirinya baru saja melintasi sahabatku setiap pagi; jalanan menuju sekolah. Nothing to do with me, Mum...
Intinya saja, beliau minta ditemui, tentu jika aku punya waktu sengang, tak mungkin ia menyuruhku skip pelajaran hari ini. Maksi, katanya. Maksi, makan siang, bahasa apa, itu?
Mungkin beliau memang kelewat gaul...

-----------

Sembari menunggu jam makan siang yang sudah terjadwal--meski mendadak--dengan Ibu, guru pengampu mata pelajaran entah apa, memakan abaianku. Tubuhku saja tak tertuju menghadapnya, apalagi pikirku, kan? Mengobrol, memikirkan masa depan, atau apapun yang akan kau ucapkan jika mendengar; itu jauh lebih menyenangkan.

Di sinilah kalutku lebur, leleh yang kemudian terhambur.

-----------

Jam maksi. Makan siang, kalau ibuku bilang. Kami diburu waktu; saya, sebenarnya.
Terlalu panjang untuk dijelaskan, di sini. Intinya, lagi lagi, langsung ke inti, kami makan dan berbincang.
Prediksi pagi yang dengan penuh percaya diri terpahat di benak, tergerogoti, hilang setelah perut kenyang. Ya, ampun....

-----------

Nah.
Kembali ke gudang penyimpanan ilmu.

Pamongku sudah duduk manis dan terlihat santai, sampai-sampai penyusup yang masuk di saat yang tidak pas saja tidak beliau ketahui. Aku, maksudnya. Masuk seenaknya, seperti seorang anak tak tahu krama di film-film remaja. Terlambat, sikat!

Satu bendel soal siap di meja. Temanku yang menatanya, apalagi yang bisa dilakukan selain mengerjakan? Melahap berkas soal, yang tak aku harapkan dari awal. Better do it than whining, huh?

Selesai, dan kembali berbalik arah. Membalikkan badan, menyapa kawan. Bu, saya hanya mencoba ramah ke teman sekelas saya, jadi jangan bilang saya bikin gaduh di kelas Ibu.
Banyak sekali yang kami bicarakan. Ah, masalah pagi terlupakan. Bagai air yang tanpa sadar menguap, yang lebur bersama obrolan kami.

-----------


Baru saja tersadar, buat apa saya tulis ini?
Seperti ditampar. Terkaget dan.... sudah, ya. Saya merasa aneh.

Saturday, February 9, 2013

Never Read This Trash

Di sini lebih damai. Di barisan kedua dari belakang. Di kelas.
Saya yakin bukan karena orang sekitar yang memengaruhi, memang saya saja yang lebih nyaman duduk dan menulis dibanding memulai membicarakan hal yang mengusik saya sejak awal minggu ini, pada teman, meski yang terdekat.

Kelewat egois, menurut saya. Saya ingin yang lain mengerti, tanpa saya harus berbicara; tanpa saya sendiri yang merobek selaputnya. Egois.

Baru saja saya bangun dari ranjang sekolah yang sengaja disediakan untuk siswa sakit.

Tunggu... saya bingung; mungkin meramu kata dengan kata ganti 'saya', boleh saya ganti jadi 'aku'? Setidaknya jemariku lebih gemulai mengetik kata-per-kata dengan kalimat yang tak baku.
Sayang, mungkin seperti inilah gambaran remaja Indonesia. Eh? Sudahlah, masalahku sudah cukup berat; tak perlu pula merasa sok kuat dan ngerti masalah negara.

Ke mana arah pembicaraan ini kubawa? Sekali lagi, aku jawab, entah.

Terkutip dari kawan sebaya; kalau ada masalah, bilang aja, jangan disimpan sendiri. Nanti sakit, lho.
Hai, teman. Bagaimana aku bisa berbagi denganmu jika bahkan saat aku ada, kamu seperti seseorang yang asing buatku? Dan saat kamu masih butuh kehadiran yang lain saat kamu sudah bersamaku? Dan aku, merasa tak diprioritaskan; atau memang tidak?

Sudahlah, rasanya seperti aku memantikkan lagi api perang yang sebelumnya telah berhasil kita padamkan; perang dingin antara kita.
Yang jelas, bukan kau yang salah, mungkin aku.
Aku selalu merasa kurang, ya, sebagai manusia.  Manusiawi.

Friday, February 1, 2013

Wake up!

Halaman kosong.
Lalu? Entahlah.
Tadinya aku berpikir untuk menghilangkan kekosongannya; bukan dengan cerita basi; keluhan tentang yang lain, berperan menjadi tokoh baik, yang bahkan aku tak yakin.

Selalu merasa jadi yang paling berusaha, begitukah? Aku, jujur, iya.
Kelu, saat sebenarnya tidak begitu, tidak seperti yang nampak di mata yang lain.

Kenapa tidak kau coba bagi dua saja, aku?
Separuh kau harap aku baik dan bahagia, sejahtera, sentosa, atau apapun pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia ucap sinonimnya. Dan separuh lagi.... kau ingin aku melihat deritamu. Merasakannya, bukan? Haha. Iya, kau merasa hanya kau-lah yang 'sakit', tersakiti; yang sedih tersandung pedih.

You're not the only one who hurt, Baby.

Menurutmu, egoiskah jika mengajakmu menilik perasaanku? Menyeretmu kemari saat ada sebagian hatiku yang membutuhkanmu; yang meraung keras, namamu tersebut? Menarikmu, mencoba meski berbisik, agar kamu paham dan mengerti bagaimana 'aku'?
Ah, maafkan ciptaan Tuhan yang egois ini. Tapi bukannya segalanya tak akan berujung 'harmonis' tanpa mengerti satu-sama-lain?

Seberapa besarnya kita mencoba, celah masih memberi jalan kemungkinan kau menyakiti yang lain.
Begitu juga aku, kau.
Aku merasa, dan kau tidak. Atau mungkin kau pikir aku kebalikannya; kau merasa dan aku tidak. Bukannya setiap jiwa, setiap raga, punya persepsinya masing-masing?

Lagu lama.
Iya, lagu lama untuk menuding kau salah dan aku bersih.

Aku sadar aku mencoreng hatimu, mengoyak berkali-kali perasaanmu; bagaimana kamu?
Sadarkah?
Berkali aku baca, berkali aku pahami, berkali pula aku tercabik.

Lelah membawa ke-antah-berantah-an ini, lelah menyaringkan keluh-kesah.
Di awal mencoba tegar, eh, terbuntuti kesabaran yang memudar.

Maaf.