Hanya terduduk, terdiam di sini. Tatapan kosong. Suara yang sayup-sayup di telinga, memancingku untuk mengisi pikiran yang sedari tadi kosong, tepatnya hanya ada sebagian bayangan di sudut sana, seseorang yang belum, atau malah tak mungkin bersamaku selamanya.
Aku tersadar, melihat seisi ruang dari seluruh penjuru; barat, timur, utara, selatan, tenggara, lalu ke arah berlawanan.
Seperti tersetrum aliran listrik 220 watt--daya yang biasa digunakan di negaraku--, tertegun melihat kawan-kawan seperjuanganku yang bermain dengan warna pelangi. Sungguh, aku tak mengerti. Intinya, mereka berhasil hidup, tanpaku di sana.
"Udahlah, udah biasa juga, kan?" itu suaraku, suara yang sebenarnya datang dari kepalaku namun terdengar seperti suara khas milik salah satu kawanku di sana, yang sebelumnya mengisi sudut pikirku yang kosong, sampai saat ini, dan mungkin selamanya.
"Apa salah? Aku juga ingin ke sana, merasa bagaimana jika aku di sana, apakah akan berbeda? Akankah aku merasa bahagia di sana? Apa mereka menjadi lebih bahagia atau berbalik menjadi luka di antara kami?"
Tak kenal lelah, sang narator dalam khayalku tetap terjaga, berbicara, tak berhenti. Sedikit muak, namun benar apa yang dikatakannya, apa aku salah? Apa aku tak boleh berada di sana? Apa bahkan aku tak sedikitpun pantas bersamanya?
Sakit, kau tahu?
Pilu yang menyesaki dada.
Parasnya yang tak terkalahkan indahnya itu, kini terlintas, dan bahkan aku dapat melihatnya, nyata. Dia di hadapku, sayang, tak sedikitpun ia memperhatikanku. Tapi, untuk apa? Untuk apa juga dia melihatku, memperhatikanku, atau malah menganggapku ada? Aku bukanlah seorang yang penting di hidupnya, malah, aku datang hanya mengganggu kehidupannya yang sempurna.
Tidak melihat, memalingkan pandangan, tidak memperhatikan.....that's not working on me, okay?
Tubuhku yang selalu lemas dan lemah di sampingnya, asal kau tahu, aku mendadak lunglai saat ia sebut satu nama, namaku. Tubuhku yang sebelumnya terasa kuat--bak pohon dengan puluhan cabang tertiup badai, hanya goyah namun tak rubuh--kini terasa layu.
Hanya dengan melihatnya, aku selalu ingin melakukan semua hal--demi dia. Tanpa ia suruh pun, tanpa ia minta, aku rela membantunya saat ia butuh; menyediakan apapun yang ia butuhkan, bahkan inginkan; menolongnya untuk bangkit saat ia pucat.
Bukannya tak ikhlas atas apa yang telah kulakukan, memperhatikannya, menolongnya, menjaganya, namun aku hanya ingin ia tahu--tahu akan betapa kerasnya yang telah kulalui hanya untuk dirinya, terpaan luka yang tak bosan-bosannya menghantam, dan ia? Ia acuh nan tak peduli.
Sekali lagi, ini menyakitkan, memilukan. Pedih.
Setiap kata yang terlontar dari bibir manisnya itu, tak jarang berhasil merampungkan karya terapiknya, luka yang mendalam. Saat ia lebih memilih orang lain dibanding aku, di sanalah aku tersadar memang ia yang pantas memilih, dan yang terpilih mungkin pantas dipilih.
Pilihan kedua? Sudah biasa. Jujur saja, aku sangat lelah.
I really like you but I can't be the Invisible Girl, I'm tired of being the shoulder, I want to be another body part.
No comments:
Post a Comment