Sunday, December 2, 2012

12/02/2012

Ah, hujan yang mengganggu. Fokusku lebur bersama besi yang berkarat, atau malah lebur bersama karat besi. Entahlah.

Oh iya, malam ini aku tenggelam dalam sejarah. Sejarah cinta kita, ups, bukan, melainkan sejarah negeri tempat aku--dan mungkin kau tinggal. Kelam, sejauh rasa ingin tahu ini mencari. Konflik di sana, konflik di sini; genosida tak luput dari cerita lampau saat usiaku masih sekitar 1,5 tahun.
Miris, bukan?

Bachruddin Jusuf Habibie, namanya. Salah satu tokoh penting yang sering disebut-sebut pamongku. Si jenius yang sempat memimpin negeri ini di sekitaran tahun 'penuh konflik' tersebut. Stigma negatif sebagian masyarakat telah melekat padanya. Sungguh. Namun bukan bijak namanya jika hanya melihat dan membahas sisi gelapnya terus menerus.
Beberapa waktu yang lalu, Ibu Ainun, istrinya, meninggal dunia. Kecintaan Habibie pada Ainun ini dibuktikan dengan membuat puisi selepas kepergiannya.

Berikut puisi Habibie untuk Ainun:

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu. 
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,
hatiku seperti tak di tempatnya,
dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi. 
Kau tahu, sayang,
rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir,
pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak mengeluh,
tapi rasanya terlalu sebentar kau di sini. 
Mereka mengira akulah kekasih yang baik bagimu, sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia,
kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini. 
Selamat jalan,
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
selamat jalan, sayang,
cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
selamat jalan,
calon bidadari surgaku ….

Gandul, 09 Januari 2012

No comments:

Post a Comment