Wednesday, September 5, 2012

The Things Inside

I don't know what I should write di kolom 'Title'. Karena tulisan kali ini sungguh sangat mendadak. Maksudku, ya, begitulah; keinginan menulis begitu besar, dan aku tak bisa melawannya meski tanpa koneksi internet. Untunglah gadget super ini benar-benar memanjakanku. Ngomong-ngomong, tak sepenuhnya salah aku hidup dalam buaian teknologi.

Aku tak kembali datang ke blog ini untuk sesuatu yang menggembirakan, sesuatu yang sangat ingin kukenang, namun angan yang menyesak.
Kau tahu? Aku sendiri. Tanpa teman, sama sekali. Sampai di rumah belum genap pukul setengah satu siang, mana ada orang? Hmmm....maksudku, di kediamanku. Sesekali memandangi telepon genggam yang biasanya 'heboh'. Kini? Mungkin ia sudah belajar bagaimana bersikap manis di hadapan manusia. Diam, seperti seorang anak yang diajak membesuk teman orangtuanya yang sedang sakit. Duduk manis, kalau para orangtua sering menyebutnya.

Coba bayangkan anak itu; hanya memperhatikan sekeliling ruang. Sudut satu, ke sudut yang lain. Mendengar orang lain berbicara. Berbicara hanya saat yang lain menegurnya. Mungkin itu seperti .....aku?

Sakit. Saat kau merasakan rindu dan sepi, kemudian kau disalahkan karenanya. Begini, disalahkan karena kau sendiri yang membuatnya, kau yang menyebabkannya. Siapa yang mau? Sakit, kau tahu. Sakit, karena sesungguhnya kau tak ingin kedua hal itu hadir bebarengan di setiap sendirimu. Sungguh, kau tak menginginkannya; inilah yang membuatmu semakin tersakiti. Menginginkannya pun tak mau, apalagi 'menimbulkannya', bukan?
Lelah aku dalam belenggu sepi. Sendiri.

Nobody wants to be alone that much.
Kamu juga, kan? Ada keyakinan saat aku mengatakannya.
Aku duduk di deret paling belakang, tadi. Ya, saat sekolah. Namun aku tak sendiri, ada empat orang anak di saf itu. Guru Bahasa Inggrisku datang, menghampiri sekaligus membuyarkan lamunanku.
"Kenapa, Rona?" sial, guru ini telah benar-benar mengenalku meski parasku ta terlihat. Menggeleng dan semakin sesak. Yah, nasib. Memaksa, memaksa, memaksa, kepo! Dan aku terpaksa berbohong. "Mengantuk," jawabku.

"Not in the mood?" sial--untuk kedua kalinya, guru ini seperti sudah mengenalku belasan tahun. "Mungkin, Miss..." timpalku ragu.

Hah. Untung beliau bertanya, karena apa yang tidak kuharapkan--bahkan tepikir pun tidak--beliau lakukan terhadapku, beliau lakukan.
Perhatiannya hanya tertuju padaku, itu kesan saat aku memandang dan berbicara padanya. Benar, ia mengajakku berbicara. Rupanya tak masalah aku tak memperhatikan rekan-rekanku mempresentasikan hasil diskusi mereka, karena pamongku juga melakukan hal yang sama. Terima kasih, Miss, setidaknya laraku terusir meski sejenak.

Apa maksudmu kembali datang dalam benakku?
Maaf, pertanyaan barusan untuk seseorang. Setelah aku selesai mengingat-ingat kejadian lalu, 'dia' datang lagi. Someone who has messed me up. Ha!

Sudahlah, lelah aku mencoba memikirkan bagaimana aku harus menuliskannya; aku, ia, dan perasaanku. Lelah mencoba. Bagaimana aku harus mengungkapkannya, itu maksudku.

Coba saja hati punya organizer yang nyata; memungkinkan untuk mengatur kapan harus dibuka, kapan harus ditutup, kapan harus mempertahankan, kapan harus melepaskan. Melepas apa yang sudah meninggalkan, pergi, semacam mengikhlaskan. Tapi, ah, entahlah. Melepaskan....

Aku hanya belum siap....


- Posted using BlogPress from my iPad

4 comments: